Saturday, April 13, 2013

[batavia-news] Rezim Dagang Paksa ala Menteri Gita

 

Ref. Bagi negara yang bersifat kerajaan atau semi kerajaan diperlukan adanya anak-anak ema,s karena dengan begitu lebih memudahkan dialirkan upeti. Kemana dialirkan upeti? 
 
 

Menteri Perdagangan Gita Wiryawan agaknya betul-betul jadi anak emas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jika ukurannya soal tata niaga, Presiden sudah pasrah bongkokan, menyerahkan segala-galanya kepada Gita. Contoh paling mutakhir: ada sebuah draf Peraturan Presiden (Perpres) soal tata niaga kedelai yang kini tinggal menunggu tandatangan SBY. Perpres ini berisi dua hal: (1) menugaskan Bulog mengamankan harga dan menyalurkan kedelai, (2) tata cara pengamanan harga dan penyalurannya diserahkan sepenuhnya kepada Menteri Perdagangan.

Jika Perpres ini benar-benar diteken, waspadalah: pasar kedelai akan heboh. Manfaatnya mungkin ada, tapi tak sepadan dengan beban yang ditanggung masyarakat yang musti menelan getah getir tataniaga. Sementara itu, keuntungan gila-gilaan akan direguk beberapa gelintir orang yang mendapatkan hak istimewa: pedagang raksasa yang dekat dengan kekuasaan, calo katabelece, dan makelar izin. Dan tata niaga kedelai akan menjadi mesin uang yang dahsyat – selama orang Indonesia masih doyan makan tempe, tahu, kecap atau sambel tauco.

Bagaimana bisa begitu? Mari coba kita runut satu demi satu.

Rencana tata niaga sebenarnya mulai terdengar pertengahan tahun lalu ketika harga kedelai impor melambung dari Rp 6.000 per kilogram menjadi Rp 8.200 per kilogram. Lonjakan ini memicu demonstrasi Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia (Kopti) yang mengerahkan jaringannya di Jakarta melakukan sweeping: memaksa perajin dan pedagang berhenti membuat dan mendagangkan tahu dan tempe.

Seperti biasa, Pemerintah langsung gamang. Terasa sekali Pemerintah begitu mudah mengikuti desakan beberapa gelintir pedagang atau pengrajin. Buktinya: wacana pengaturan harga langsung menggelinding, sambung menyambung. Susul-menyusul para menteri memberi pernyataan tentang pentingnya pengaturan perdagangan kedelai – komoditas yang selama ini bebas tata niaga. Orang-orang dekat Presiden bahkan secara khusus melobi wartawan-wartawan papan atas untuk meminta dukungan.

Rencana tata niaga kedelai memang mudah dijual karena mengusung isu yang seksi: keberpihakan pada petani kedelai lokal dan perajin tahu tempe — keberpihakan pada rakyat miskin, pada wong cilik. Tapi apa betul?

Baik teori maupun sejarah menunjukkan, tata niaga selalu menimbulkan gangguan pada mekanisme pasar dan kerap memicu korupsi. Harga daging sapi dan bawang yang terbang ke awan beberapa bulan lalu merupakan contoh nyata bahwa aturan main yang katanya diniatkan untuk membela peternak atau petani lokal itu justru berdampak sebaliknya. Petani lokal tak tertolong, sedangkan para pemburu rente menikmati privilese luar biasa. Masyarakat memikul beban harga yang mahal dan harus menderita.

Jika kita cermat menelaah seluk beluk produksi dan perdagangan kedelai, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa tata niaga kedelai akan berujung serupa dengan tata niaga daging sapi: menyengsarakan rakyat.

Yang pertama patut kita hitung: kedelai tidak berkembang produktif pada iklim kita. Kedelai merupakan tanaman sub-tropis. Amerika Serikat, Brasil, Argentina bolehlah habis-habisan menanam kedelai karena hasilnya bagus, rata-rata tiga ton per hektare. Sementara itu tanah kita paling banter hanya menghasilkan 1,4 ton per hektare.

Itu sebabnya, petani kita makin enggan menanam kedelai. Grafik berikut menunjukkan tren yang sangat jelas itu. Tahun 2012 lalu, produksi kedelai kita hanya 780.000 ton, tak sampai separuh produksi 1995 yang hampir 1,7 juta ton.

Studi Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan bahwa tingkat keuntungan bercocok tanam kedelai sangat rendah. UGM membandingkan keuntungan rata-rata petani jika menanam kedelai atau jagung, sesama palawija. Hasilnya, kedelai tidak menarik. Jika petani memakai lahan sendiri, keuntungan rata-rata dari kedelai hanya Rp 2,9 juta per hektare per musim, bandingkan dengan keuntungan menanam jagung yang Rp 10,2 juta per hektare per musim. Keuntungan petani kedelai bisa setara dengan keuntungan petani jagung jika harga kedelai Rp 12.000 per kilogram, sekitar dua kali lipat harga kedelai pada situasi normal. Jika harus menyewa tanah, petani kedelai malah KO lebih awal: rugi Rp 1.055.000 per hektare per musim.

Tentu bukan salah bunda mengandung jika orang Indonesia gemar sekali mengudap tempe dan menyiram masakannya dengan kecap sehingga tingkat konsumsi kedelai begitu tinggi. Jika konsumsi tinggi dan produksi lokal tak cukup, jawabannya jelas: kita harus mengimpor. Grafik berikut menunjukkan bahwa kita sangat bergantung pada kedelai impor. Tahun 2011, misalnya, konsumsi kedelai kita mencapai 2,4 juta ton – dan 88 persen di antaranya dipenuhi dari impor.

Angka-angka itu jelas menunjukkan: sungguh konyol jika Pemerintah membuat kebijakan yang mengorbankan kepentingan 240 juta konsumen demi sebuah komoditas yang tidak menarik dan tidak menguntungkan untuk ditanam.

Bisik-bisik yang beredar di kalangan pemain kedelai menyatakan, Menteri Gita akan mengubah perdagangan kedelai menjadi perdagangan tertutup — tidak lagi bebas. Pedagang akan 'diseleksi' dengan serangkaian persyaratan untuk mendapatkan hak mengimpor.

Selain syarat administratif, Menteri Gita akan memaksa tiap pedagang yang berminat mengimpor kedelai untuk membeli kedelai petani dengan harga yang ditetapkan Pemerintah. Jadi, ada harga paksa yang tak boleh diganggu gugat. Jika Pemerintah memaksa pedagang membeli kedelai petani jauh di atas harga pasar, rasanya bau kong kalikong otomatis akan meruap keras.

Pada saat yang sama, regulasi ini juga akan memaksa importir menjual kedelainya kepada perajin tahu tempe, dengan harga serendah mungkin. Keinginan yang pernah terucap adalah maksimal harga kedelai untuk perajin tak boleh lebih dari Rp 7.000 per kilogram. Jadi, jika di zaman VOC dulu ada tanam paksa, maka kini Pemerintah hendak menciptakan sebuah rezim dagang paksa.

Mekanisme ini menempatkan pedagang sebagai pihak yang harus menanggung risiko jika harga kedelai dunia bergejolak. Importir akan rugi jika harga internasional naik dan pada saat yang sama harus membeli kedelai lokal dengan harga paksa yang tinggi, lalu menjual murah kepada perajin. Mana ada pedagang yang mau menanggung rugi demi petani atau perajin tempe? Pada situasi begini, sudah pasti pedangan akan berhenti mengimpor dan kedelai bakal menghilang.

Pemerintah tentu dapat memainkan kartu Bulog. Sebagai Perusahaan Umum milik negara yang mengemban tugas sosial, Bulog akan dipaksa tetap mengadakan kedelai apapun yang terjadi di pasar dunia ketika importir lain sudah menyerah. Tapi jangan lupa, kerugian Bulog adalah kerugian kita semua, karena pada akhirnya kerugian itu tentu harus ditutup dengan uang negara hasil memungut pajak dari masyarakat.

Skenario yang dapat kita bayangkan jika tata niaga ini benar-benar diberlakukan adalah seperti ini:

• Terjadi pembelian fiktif kedelai lokal atau kurang dari kewajiban.
• Impor diam-diam melebihi jatah ketika harga internasional rendah.
• Pemegang kuota untung besar karena perbedaan harga domestik dan internasional melebar. Jika harga internasional naik, mereka tinggal menghentikan impor, untuk apa mencari rugi.
• Produksi lokal tak akan cukup karena mustahil Pemeirntah menetapkan harga paksa Rp 12.000 per kilo, dua kali lipat dari harga pasar, agar petani tertarik pindah dari jagung ke kedelai.
• Semua skenario di atas membuat potensi kong kalikong dan suap-menyuap terbuka lebar. Munculah rente ekonomi yang dinikmati para pemain utama yang dekat dengan pemegang kekuasaan.

Lalu apa tujuan tata niaga itu? Apakah Kementerian Perdagangan sudah membuat kajian mendalam? Apakah ada cost and benefit analysis? Dalam proses yang sangat remang-remang itu kita layak curiga. Jangan-jangan, tujuan utama menciptakan tata niaga itu, ya, skenario terakhir itu: menciptakan ladang baru suap-menyuap melalui pembagian jatah impor kedelai.

Cerita seperti itu sudah terjadi dengan daging sapi, bawang, dan rasanya akan terulang lagi di kedelai. Ada baiknya pemerintah transparan mengenai rencananya. Perlu ada uji publik sebelum aturan diterbitkan dengan semena-mena. Itulah esensi demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi mestinya tidak hanya berarti orang bebas memaki-maki di jalanan. Dalam demokrasi, segala keputusan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak harus transparan dan diperdebatkan secara seksama sebelum diberlakukan. Jika tidak, segala praktek buruk yang cenderung korup akan terus berlangsung bahkan bertambah-tambah setiap hari.

Dwi Setyo
luas-panen-dan-produksi-kedelaikonsumsi-dan-impor

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment