WargaTionghoa Berdoa Agar Aceh Tetap Damai

Foto / Antara

DZIKIR IMLEK-Masyarakat bersama jemaat dari persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sulsel, menggelar acara dzikir dan doa untuk kebangsaan di Masjid Amirul Mukminin, Makassar, Sulsel, Kamis (30/1). Dzikir dan doa bersama tersebut dalam rangka syukuran Tahun Baru Imlek yang merupakan budaya masyarakat Tionghoa lintas agama.

Akibat konflik bersenjata mendera, banyak etnis Tionghoa harus mengungsi ke luar Aceh.

BANDA ACEH– Konflik yang melanda Aceh selama 32 tahun telah membuat masyarakat Aceh dan berbagai etnis hidup menderita. Data dari berbagai organisasi menyebutkan, saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh tahun 1989-1998, jumlah korban masyarakat Aceh 6.873 orang, kasus Simpang KKA 1999 menelan 200 korban.

Tidak hanya itu, kekerasan dalam Operasi Wibawa tahun 1999 mencapai 73 korban, pembantaian Tgk Bantaqiah dan santri tahun 1999 menjatuhkan 57 korban, pembantaian di Idi Cut 1999 28 korban, Operasi Rajawali tahun 2001 membawa 1.216 korban, pada masa Darurat Militer I dan II pada 2003-2004 korbannya mencapai 1.326 orang.

Konflik bersenjata di Serambi Mekkah yang berakhir setelah perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM pada 15 Agustus 2005, tidak hanya masyarakat etnis Aceh yang menderita.

Masyarakat dari etnis Tionghoa yang telah puluhan tahun tinggal di provinsi paling ujung Indonesia itu juga merasakan hal yang sama.

Akibat konflik bersenjata yang mendera Aceh, banyak etnis Tionghoa yang tinggal di berbagai daerah seperti Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Lhokseumawe, Bireun, Banda Aceh, Aceh Barat dan beberapa daerah lainnya, terpaksa harus mengungsi ke luar Aceh.

Mereka meninggalkan tempat usaha, rumah dan harta lainnya hanya untuk menyelamatkan nyawa yang tidak ada harganya saat perang masih sering pecah di Aceh. Mereka umumnya pindah ke Medan, Sumatera Utara dan meninggalkan semua yang mereka miliki di Aceh.

"Saat konflik terjadi di Aceh, saya terpaksa mengungsi ke Medan, Sumatera Utara, disana saya harus bekerja serabutan hanya untuk memenuhi kehidupan keluarga," ungkap salah seorang etnis Tionghoa, Efendi yang bekerja sebagai penjual bahan mobil di Pasar Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur.

Efendi yang tinggal di Idi Rayeuk yang termasuk sebagai tempat paling sering terjadi kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI dan Polri, mengaku, saat konflik berkecamuk di Aceh, mereka juga susah mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.

"Apapun tidak bisa kita lakukan, toko tempat saya jualan bahan mobil juga kerap diawasi baik oleh TNI, Polisi maupun GAM," kenang Efendi yang telah membuka kembali tokonya pada tahun 2006 silam atau setelah kedua belah pihak yang bertikai bersedia menghentikan permusuhan.

Efendi punya pengalaman pahit saat konflik berkecamuk di Aceh, sekitar tahun 1995, satu warga Tionghoa yang tinggal di Idi Rayeuk, tewas setelah toko emas miliknya di rampok pada siang hari oleh orang yang tidak dikenal.

"Dia ditembak karena tidak mau membuka brangkas tempat penyimpanan emas, kejadian itu disaksikan oleh banyak orang, hingga saat ini istrinya masih trauma dan tidak mau kembali ke Idi Rayeuk, kami juga sangat ketakutan saat itu," sambung Efendi.

Efendi yang lahir di Idi Rayeuk mengaku, keluarganya telah puluhan tahun tinggal di Aceh, kakek buyutnya juga lahir di Aceh. Bahkan, saat dirinya pindak ke Sumatera Utara pun, dia selalu berkeinginan untuk kembali ke Aceh.

"Semua keluarga saya tinggal di Aceh, bahkan kedua orang tua saya juga dimakamkan di Aceh, jadi tidak mungkin saya pindah ketempat lain, saya juga ingin jika menghembus nafas terakhir di Aceh," ungkap Efendi.

Warga Tionghoa lainnya, Sun Sie menyebutkan, saat konflik masih melanda Aceh, tidak hanya warga pribumi yang sulit mencari nafkah, warga Tionghua yang telah puluhan tahun tinggal di Aceh juga merasakan hal yang sama.

"Kita sangat sulit bekerja, karena kontak senjata dapat terjadi kapan saja sehingga banyak warga yang tidak nyaman tinggal di Aceh dan memilih pindah ketempat lain," sebut Sun Sie.
Sun Sie mengatakan, setelah perjanjian damai antara RI dan GAM ditandatangani, dan konflik tidak lagi terjadi di Aceh, mereka kembali nyaman bekerja. Dirinya juga berharap suasana Aceh tetap damai dan tidak lagi terjadi konflik bersenjata.

"Kami sangat nyaman tinggal di Aceh sekarang, kami berharap suasana damai seperti ini akan terus terjaga dan sampai kapanpun, konflik tidak lagi terjadi di Aceh," ungkapnya.

Harapan agar suasana damai terus terpelihara tidak hanya disampaikan oleh Sun Sie, sejumlah etnis Tionghoa yang menyambut tahun baru Imlek 2565 di Vihara Dharma Bakti Peunayong, Banda Aceh juga mengharapkan hal yang sama. Saat sembahyang menyambut tahun baru Imlek, mereka juga mengaku agar Aceh terus damai.

"Doa saya, agar perdamaian yang sedang terjadi di Aceh akan terus terjaga dan tidak ada pihak yang memancing konflik kembali terjadi di Aceh, karena kalau konflik terjadi, yang paling menderita adalah masyarakat biasa termasuk etnis Tionghua yang telah lama tinggal di Aceh," sebut Hendra, etnis Tionghua yang sengaja pulang ke Banda Aceh, dari Kabupaten Aceh Barat Daya untuk merayakan imlek bersama keluarga.

Dekan Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, A Rani Usman yang pernah melakukan penelitian tentang etnis Tionghua di Aceh menyebutkan, pada abad ke-18 terjadi kekacauan politik dan banyak pengangguran serta kemiskinan merajalela di negeri Tiongkok sehingga minat etnis Tionghua untuk meninggalkan negaranya sangat banyak.

"Awalnya, kedatangan etnis Cina ke Indonesia diprakarsai oleh kebutuhan tenaga kerja yang terampil pada masa kolonial Belanda. Dalam kondisi sulit para perantau dari Cina tersebut harus tetap bertahan hidup, dengan kerja keras perantau  dapat bertahan hidup di Indonesia," sebutnya.

Namun, hubungan budaya antara masyarakat Aceh dengan masyarakat Tionghua telah terjalin sejak abad 13 lewat utusan diplomat Cina pergi ke Aceh, bahkan pada tahun 1409 M, kerajaan Tiongkok juga  menyerahkan Lonceng Cakradonya kepada Raja Aceh sebagai lambang persahabatan.

"Sementara itu, Raja Aceh mengirimkan utusan Aceh atau duta besar ke Cina yaitu Zainal Abidin dan khususya pada musim dingin tahun ke 1413 berlayarlah utusan Cina ke Samudra termasuk ke Aceh. Hubungan diplomasi dibarengi dengan hubungan bisnis yang saling menguntungkan sehingga kedua bangsa tersebut terjalin atas dasar saling menghargai," sebut penulis buku Etnis Tionghua Perantauan di Aceh itu.

Menurut A Rani Usman, bekerja tanpa kenal lelah membuat etnis Cina perantauan berhasil dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Fenomena tersebut terlihat etnis Cina dipandang oleh Belanda sebagai kelas menengah bersama Timur Asing lainnya. Di bidang politik etnis Cina dapat menyatukan dirinya dengan pemerintah setempat seraya mempertahankan edentitas kecinaan mereka.

Hendy, salah seorang orang yang dituakan oleh etnis Tionghoa di Banda Aceh mengaku, sejak puluhan tahun yang lalu, mereka cukup nyaman tinggal di Aceh, karena tidak warga Aceh sangat menghormati kegiatan budaya dan agama etnis Tionghua.

"Kami tidak pernah bermasalah saat beribadah, bahkan sebagian besar vihari di Aceh berdiri ditengah-tengah masyarakat atau didalam perkotaan , seperti di Peunayong, Kota Banda Aceh dan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur," sebut Hendy.

Menurut Hendy, warga Aceh juga tidak pernah melarang atau mengganggu etnis Tionghua beribadah, warga dari daerah lain di Indonesia harus ke Aceh dan belajar bagaimana bertoleransi dengan berbagai etnis dan agama.

"Aceh meskipun menerapkan syariat islam, tapi tidak mengekang agama lain saat beridah, semua diberikan kebebasan," sambung Hendy.