Thursday, November 28, 2013

[batavia-news] Mendengar Kesaksian Korban Operasi Militer

 

 
Mendengar Kesaksian Korban Operasi Militer
M Bachtiar Nur | Kamis, 28 November 2013 - 18:32 WIB
: 172


(dok/antara)
Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM.

Tiga perempuan dengan pakaian brewarna merah tampak meliukkan badannya santai, sesekali tangan mereka memperlihatkan gerakan memotong tanaman dan kemudian menyimpanya ke wadah yang tergendong di punggung.
 
Tiba-tiba tiga tentari (pelesetan dari tentara) mendatangi mereka dan sekonyong-konyong menangkap para perempuan tersebut. Sesaat kemudian adegan memperlihatkan dua sosok berwibawa tampil ke panggung.

Sosok pertama diketahui mengenakan jas abu-abu bertubuh gemuk dengan postur tetap tegap. Di salah satu tangannya tergenggam mantap sebuah mikrofon, ya sosok itu bernama Sesbeye.
 
Sosok satunya lagi adalah perempuan berpakaian biru yang sibuk memotret dengan kamera andalannya. Sosok itu bernama Anu yang merupakan istri SesBeYe. Adegan berlanjut dengan sikap kedua sosok yang memilih menengok ke belakang, di sampingnya ibu-ibu yang semula sempat memegang payung bersenandung di bawah payung hitam.

Gambaran adegan-adegan yang diperankan Komunitas Pecinta Seni (Kipas) ini memperlihatkan sejarah Indonesia sampai saat ini. Cerita yang dikemas dalam bentuk tarian kontemporer ini mengisahkan bagaimana militer dengan keji melakukan penangkapan, pelecehan seksual, hingga penahanan tanpa pengadilan terhadap rakyat pada masa lalu, termasuk pada kaum perempuan.

Salah satunya adalah peristiwa 1965. Dimunculkannya dua sosok yang memerankan Sesbeye dan Ibu Anu tak lain merupakan kritikan, hingga kini "aksi kamisan" yang dilakukan para korban pelanggaran HAM masa lalu tak juga mendapat respons dari pemerintah.
 
Tercatat telah 330 surat dikirimkan keluarga korban, namun tak jua mendapat respons positif. Aksi yang selalu berlangsung setiap Kamis di depan Istana Negara ini memang identik dengan simbol payung hitam.

Sejarah Kelam

Sejarah mencatat, Indonesia pernah mengalami sejumlah operasi militer yang menyebabkan banyak pelanggaran HAM.
 
KKPK menyebutkan berbagai kekerasan dilakukkan TNI (dulu bernama ABRI) dan Polri terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Gorontalo, Sulawesi tnggara, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Barat, NTT, NTB, Kalimantan, Papua, hingga Timor Timur atau Timor Leste.

Di Aceh, setidaknya 300.000 jiwa menjadi korban kekerasan. KKPK menyebutkan, korban di seluruh Indonesia mencapai jutaan jiwa dengan berbagai bentuk kekerasan, seperti penahanan tanpa pengadilan, penculikan, perampasan rumah, pemisahan anggota keluarga, pemerkosaan, dan kerja paksa.
 
Salah satu alasan kekerasan ini dilakukan adalah dalih menciptakan kestabilan politik, agar pertumbuhan ekonomi positif.

Dengan berbagai cara, pemerintah berupaya memastikan tidak ada pihak-pihak kritis yang dianggap berpotensi memprotes pemerintah. Pada era Orde Baru, sebagian besar masyarakat diliputi kekhawatiran dan ketakutan.

Singkat kata, lebih baik diam daripada ditangkap, disiksa, ditahan, atau diintimidasi. Bukan hanya terhadap aktivis, melainkan juga pada anggota keluarganya. Imbas dari perlakuan sewenang-wenang pemerintah ini tidak ditanggapi. Bukannya mencari solusi secara damai, aksi-aksi protes dari kelompok ini justru ditanggapi dengan kekerasan tanpa henti.

Kini, setelah Indonesia mengklaim sebagai negara demokrasi, kekerasan yang pernah dialami para korban akibat operasi militer tak juga menunjukkan titik terang.
 
Hingga kini misalnya, hak dari keluarga yang pernah dianggap terlibat dalam peristiwa 1965 tak juga diberikan. Pemerintah juga tak menyatakan permintaan maaf terhadap para korban, padahal luka yang tergores akibat operasi militer masih membekas.

Kesaksian Korban

Sejumlah korban pelanggaran HAM dari Aceh, Papua, hingga Timor Leste difasilitasi oleh KKPK. Di Perpustakaan Nasional, satu per satu korban yang diundang menceritakan pengalaman pahit saat operasi militer diberlakukan di daerah asal mereka. 
 
Seorang perempuan berinisial Na asal Jayapura yang hanyalah ibu rumah tangga dengan kebiasaan beribadah di gereja, turut mendapat perlakuan semena-mena saat operasi militer masuk ke wilayahnya.

Berawal dari penangkapan suaminya, Na yang berupaya mencari tahu nasib pria yang dicintainya justru mendapat pelecehan seksual dari sejumlah ABRI tahun 1982. Tragisnya lagi, saat itu Na sedang membesarkan bayi yang baru berumur beberapa bulan.

Rasa malu akhirnya membuat Na memilih mengasingkan diri ke hutan selama beberapa tahun. "Saya malu. Martabat saya hilang, tujuh tahun saya memilih tinggal di hutan," Na mengenang.

Kekerasan juga dialami Kris dari Papua. Karier sebagai kepala seksi di PLN ketika itu terenggut saat militer menangkapnya.  Namun, ia mengaku berbagi pengalaman pahit berupa siksaan di masa lalu tak membuatnya dendam. Dirinya hanya meminta pemerintah mengembalikan apa yang menjadi haknya.

Nasib tak jauh berbeda dialami Izabelina De Jesus Pinto (39).  Terlahir sebagai anak seorang tokoh dari Kota Dili, Timor Timur, Izabella terpaksa berpisah dengan keluarganya. Saat usianya masih enam tahun, Izabella menjadi jaminan agar para pemberontak dapat dikendalikan militer.

Ia diadopsi anggota militer dengan persetujuan dari petinggi TNI. Jika Izabella bersedia menjadi anak adopsi, keluarga dan penduduk sekitar tak akan disakiti militer.

Kisah lainnya juga diceritakan korban peristiwa Marabia, Timor Timor. "Tahun 1975 saya bersama keluarga melarikan diri ke hutan, kurang lebih tiga tahuh saya bertahan. Tahun 1978, sekitar 300 orang ditangkap TNI, kami selalu ditindas, dipukuli, dan diancam akan dibunuh sampai tujuh turunan," katanya.  

Ia berharap masalah ini jangan terulang lagi. "Saya meminta pemerintah RI dan Timor Leste mematuhi kesepakatan dan menjalankannya. Saya di sini mewakili korban militer di Timor Leste yang menderita akibat operasi militer Indonesia selama 24 tahun," pintanya.

Menyikapi ini, Patrick Walsh, penasihat KKPK yang menjadi saksi ahli dalam kesaksian pelanggaran HAM, mengatakan seluruh kesaksian menjadi pelajaran penting. Rakyat jelata menderita akibat operasi militer yang dilakukan pemerintah.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment