(SH/Junaidi Hanafiah)
Askhalani.
Aceh merupakan daerah yang terletak paling ujung barat Indonesia, jumlah tindak pidana korupsinya paling tinggi.
Terlebih saat konflik bersenjata melanda Aceh, tindak pidana korupsi di provinsi yang bergelar Serambi Mekah sangat jarang tersentuh hukum, sehingga koruptor dapat dengan bebas menguras uang rakyat dan sangat sedikit orang yang melakukan pemantauan.
Pada 26 Desember 2004, gempa disusul gelombang tsunami menewaskan sekitar 150.000 jiwa masyarakat Aceh dan ratusan ribu korban terpaksa mengungsi karena tempat tinggal mereka hancur. Bencana alam terhebat di dunia tersebut telah mengundang simpati masyarakat yang tinggal di berbagai belahan dunia.
Berbagai negara dan lembaga nonpemerintah datang ke Aceh memberikan bantuan untuk membangun kembali Provinsi Aceh yang luluh lantak dihantam gelombang raya pada penghujung 2004 itu.
Pembangunan kembali Aceh tidak hanya dilakukan dengan menggunakan dana yang bersumber dari lembaga donor luar negeri.
Pemerintah Indonesia melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2/2005 pada 16 April 2005 juga mengeluarkan dana puluhan triliun untuk membangun kehidupan masyarakat Aceh yang porak-poranda akibat bencana yang mahadahsyat itu.
Pengelolaan dana ratusan triliun dari berbagai lembaga donor, baik dari dalam negeri maupun asing, sangat sedikit lembaga khususnya masyarakat yang memantau sehingga dana takziah syuhada tsunami tersebut tersalurkan untuk yang berhak dan tidak ada penyelewengan.
Perhatian Sang Pemuda
Berpijak dari banyaknya dana yang mengalir ke Aceh, namun warga yang serius memantau dana tersebut tidak banyak, mengundang beberapa pemuda Aceh untuk terlibat langsung dalam pemantauan tersebut. Salah satu pemuda Aceh itu adalah Askhalani, sarjana Fakultas Syariah Jurusan Pidana dan Politik Islam IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Askhalani, yang jauh sebelum tsunami menerpa Aceh atau saat duduk di bangku kuliah telah ikut bergabung dalam sejumlah organisasi kemahasiswaan, merespons konflik yang melanda Aceh, seperti Himpunan Aktivis Antimiliter (Hantam) yang mendesak penghentian permusuhan antara pihak bertikai, Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), serta mendesak kedua belah pihak menyelesaikan perbedaan pendapat sambil duduk di warung kopi.
Meskipun pernah mendekam di sel Polresta Banda Aceh pada 6 Mei 2003 karena berunjuk rasa di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh, saat mendesak RI dan GAM berdamai dan menghentikan konflik bersenjata, hal tersebut tidak menyurutkan pria yang lahir tepat saat peringatan HUT RI pada 17 Agustus 1982 itu untuk terus melakukan pekerjaan yang berguna untuk masyarakat Aceh.
Suami Nia Kurnia ini bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi di Aceh atau Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh pada Mei 2005 atau enam bulan setelah tsunami melanda Aceh.
Meskipun masih berduka karena ayahnya, M Amin Hamid, menghilang saat tsunami melanda Aceh, ketika menyaksikan bagaimana pengelolaan bantuan di Aceh, ia mengaku terpanggil untuk terlibat memantau pengelolaan bantuan tersebut.
"Saat itu saya prihatin dengan proses dinamisasi pengelolaan anggaran publik yang terjadi di Aceh. Sebagian besar anggaran publik dinikmati dengan mudah oleh para koruptor," kata Askhalani.
Menurut pria yang kini dipercaya memimpin Gerak Aceh itu, saat BRR Aceh-Nias dibentuk, cukup banyak anggaran dikelola lembaga bentukan negara tersebut. "Jika tidak dipantau dengan baik, dana takziah syuhada tsunami dapat dengan mudah masuk ke kantong para koruptor," ucap Askhalani.
Ayah satu anak ini mengaku, hingga saat ini, tindak pidana korupsi masih terus mendera Aceh, namun terparah terjadi saat konflik bersenjata serta masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami.
"Ini yang menjadi dasar paling kuat saya untuk terus mengabdi menjadi aktivis antikorupsi dengan niat bagaimana melawan korupsi secara masif dan terencana. Ini karena perilaku korupsi adalah pelanggar HAM, menghancurkan tatanan sosial, dan merugikan keuangan secara masif," tutur pria pehobi futsal itu.
Askhalani yang juga pernah menulis buku Korupsi di Negeri Syariat bersama jaringan Gerak Aceh, mengaku telah melaporkan sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Aceh ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti dugaan tindak pidana korupsi Pembangunan Dermaga Bongkar BPKS di Sabang dan dugaan tindak pidana korupsi pembebasan lahan BPKS di Sabang. Kedua kasus tersebut saat ini sedang ditangani KPK dan telah ditetapkan sejumlah tersangka.
"Itu hanya dua kasus. Masih banyak kasus lain yang terjadi sejak 2007 hingga sekarang telah kami laporkan ke KPK dan penegak hukum lainnya. Beberapa kasus telah diputuskan oleh pengadilan, khususnya kasus korupsi dana takziah syuhada tsunami," Askhalani mengungkapkan. ***
Sekolah Antikorupsi
Pria kelahiran Kabupaten Aceh Barat Daya, 31 tahun silam itu, juga pendiri Sekolah Anti-Korupsi Aceh (SAKA). Ia masuk dalam nominasi Anugerah Seputar Indonesia 2012 untuk kategori Tokoh Transformasi Sosial.
"Siapa pun harus berani melawan dan membenci korupsi karena hal tersebut sangat berbahaya untuk kehidupan masyarakat Indonesia," ujar Askhalani.
Menurut Askhalani, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya, namun masyarakatnya miskin. Hal tersebut terjadi karena banyaknya koruptor yang masih dapat hidup dengan nyaman di Indonesia.
"Jika masyarakat Indonesia masih apatis dan tidak mau terlibat langsung memantau pengelolaan anggaran di negeri ini, jangan berharap Indonesia akan terbebas dari bahaya korupsi, meskipun puluhan lembaga dibentuk," kata penulis buku Rekam Jejak Demokrasi Aceh kerja sama Gerak Aceh dengan Tifa tahun 2012.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment