Monday, November 25, 2013

[batavia-news] Serial Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasca Reformasi Indonesia: Pendahuluan

 

 

(Bagian I Pendahuluan)

Muslimdaily.net - Indonesia mengalami krisis moneter yang cukup parah di tahun 1997. Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, kemudian berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur (Lepi T Tarmidzi, Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF DAN Saran, Tulisan ini merupakan revisi dan updating dari pidato pengukuhan Guru Besar Madya pada FEUI dengan judul "Krisis Moneter Tahun 1997/1998 dan Peran IMF", Jakarta, 10 Juni 1998. Hlm. 1-3).

Selain krisis ekonomi, jagad politik di Indonesia juga sedang mengalami gejolak, sesuatu yang nyaris tidak pernah terjadi selama era Orde Baru. Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang didukung pemerintah di Medan pada tanggal 20 Juni 1996 mendorong peningkatan perlawanan dari bawah di dalam partai itu sendiri. Konflik internal di tubuh PDI terutama disebabkan oleh campur tangan pemerintah yang dianggap berlebihan terhadap partai tersebut (Arief Budiman dan Olle Tornquist, Aktor Demokrasi, Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001. hlm. 201). Kongres di Medan tersebut mengakibatkan PDI terpecah menjadi dua kubu yang saling berhadapan, yaitu PDI kubu Suryadi yang didukung pemerintah dan PDI Megawati. Tekanan dan campur tangan pemerintah ini justru mengakibatkan pendukung Megawati yang berada di tingkat bawah semakin berani untuk mempertahankan dukungannya kepada PDI Megawati. Media massa ketika itu mencatat kekuatan akar rumput itu sebagai kekuatan "arus bawah", khususnya di tubuh PDI itu sendiri.

Geliat arus bawah ini ditangkap dengan baik sebagai sebuah momentum perlawanan terhadap Orde Baru. Gerakan perlawanan rakyat menjelang Pemilu tahun 1997. Oleh tokoh penting PDI Megawati yang dikenal berada di balik layar, DR. Ciptaning, harus dimanfaatkan, "perlawanan besar rakyat yang didasarkan pada ketajaman politik yang kuat dan dalam jangkauan nasional, terhadap tekanan politik rezim yang telah sangat merasuk ke dalam kehidupan rakyat, terutama kalangan bawah yang berjumlah besar."

Dalam konteks itu, langkah ekstra parlementer dianggap sebagai suatu cara penting, sepanjang parlemen justru hanya berfungsi memblokir keikutsertaan masyarakat (Arief Budiman dan Olle Tornquist, Aktor Demokrasi, Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001). Gelombang aksi demontrasi akhirnya pecah di berbagai daerah, selain itu konsentrasi massa juga mulai dipusatkan ke Jakarta, tepatnya di depan Kantor Sekretariat PDI di Jalan Diponegoro dalam wujud mimbar bebas. Pada tanggal 20 Juni 1996, para simpatisan PDI mengadakan demonstrasi yang dihadiri sekitar 10.000 orang untuk memprotes pengesahan pemerintah terhadap kongres PDI di Medan Sumatera Utara. Setelah terjadi pertengkaran keras antara personel militer dan massa PDI, Pangdam Jakarta ketika itu, Mayjend Sutiyoso, akhirnya mengizinkan massa untuk mengikuti mimbar bebas di depan Kantor PDI tersebut (Arief Budiman dan Olle Tornquist, Aktor Demokrasi, Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001). Selama massa antara Juni hingga Juli 1996, massa PDI dari berbagai cabang di luar Jakarta dimobilisasi ke Jakarta.

Paduan krisis ekonomi dan krisis politik ini akhirnya berkembang pesat menjadi gerakan anti pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto. Puncak dari gerakan ini adalah pendudukan gedung DPR/MPR yang berujung pada turunnya Presiden Suharto dari kursi kepresdienan pada tanggal 21 Mei 1998. Momen ini menjadi tonggak perubahan di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan itu tampak misalnya dalam kebebasan media massa yang semakin luas, sebagian napol/tapol dibebaskan, pemerdekaan Timor Leste tinggal menunggu waktu saja, dan Polri dipisahkan dari militer. Namun bagi sebagian elemen masyarakat perubahan itu hanyalah perubahan terbatas yang tidak mendasar untuk terwujudnya masyarakat demokratis yang berkeadilan sosial. Semua menurut mereka, itu hanyalah konsesi-konsesi yang dibuat para politikus hasil Pemilu 1997 dalam gedung DPR/MPR dan pemerintah Habibie yang legitimasinya dipertanyakan rakyat. Tanpa perubahan total rezim, Semua perubahan itu dalam waktu singkat dapat dikembalikan ke dalam keadaan seperti semula mengingat beberapa hal:

Pertama, rejim yang berkuasa merupakan kelanjutan dari rejim lama, yaitu rejim orde baru yang represif. Rejim Habibie bukanlah rejim pembaharu sebagaimana dikehendaki mahasiswa, karena orang-orangnya adalah orang-orang yang sama yang dibesarkan dan disusui oleh Soeharto dan kroni-kroninya. Bahkan Soeharto yang disebut banyak orang sebagai sumber malapetaka krisis bangsa dan pembunuhan sekian juta anak bangsa sendiri masih aman diam di Cendana. Diktator ini sama sekali tidak terusik dan tidak merasa bersalah dengan aneka langkah yang dibuat yang menghancurkan kehidupan politik, ekonomi, dan social budaya Indonesia.

Kedua, ideology yang mendukung rejim ini masih bercokol di bumi kita, dan belum dicabut, yaitu ideology Dwi fungsi ABRI. Ideologi inilah yang menjadi roh penjajahan bagi masyarakat sipil, dengan senjata yang dibeli dengan uang rakyat sipil (Edy Mulyono, PRD dan Radikalisasi Mahasiswa, artikel pada majalah Basis No. 05 – 06, tahun ke 48, Mei-Juni 1999 hal. 17 – 18).

Pendulum sosial, ekonomi dan politik masyarakat bergerak dari satu ekstrim ke ekstrim lainnya. Dari sebuah situasi politik yang bersifat otoritarian menjadi situasi yang extra liberal. Hal ini disebabkan ragam pemikiran politik dan kepentingan yang selama ini tersumbat kemudian muncul secara bersamaan secara centang perenang, tanpa adanya arah bersama mengenai wujud masa depan Indonesia pasca reformasi. Kebebasan politik memang sebuah prasyarat tegaknya sebuah negara demokrasi, akan tetapi yang tidak disadari, pada dasarnya kebebasan politik tetap memerlukan sebuah platform bersama untuj dijadikan sebagai pegangan. Semacam consensus dari para elite tentang bagaimana masa depan demokrasi, bagaimana system politik baru harus ditata dan seterusnya. Platform bersama inilah yang tidak hadir pada awal gerakan reformasi.

Minimnya gagasan penataan demokrasi pra keruntuhan rezim, menyebabkan kaum elit kebingungan manakala rezim ternyata runtuh dalam waktu yang singkat. Tak ada waktu untuk berkontemplasi ataupun menyusun konsep yang lebih matang, sebuah tindakan cepat kemudian dilakukan yaitu Liberalisasi Politik dan diselenggarakannya pemilu dalam waktu cepat (As'ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, Gerakan-gerakan Sosial-Politik Dalam Tinjauan Ideologis, Jakarta: LP3ES, 2012. hal. ix). Dengan liberalisasi politik ini, maka aneka kutub pemikiran dan ideologi memunculkan ekspresi politiknya. Selain memunculkan kelompok-kelompok Ideologis Islam, reformasi juga melahirkan kembali ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme yang selama ini dikubur oleh penguasa Orde Baru.

Aneka varian pemikiran Komunisme/Marxisme-Leninisme menjelma dalam beraneka bentuk, mulai dari tumbuh suburnya gerakan radikal di kalangan mahasiswa, partai politik yang behaluan Marxist, gerakan feminism radikal, penerbitan buku-buku Marxisme, sampai kepada upaya rekonstruksi kembali sejarah yang bertujuan untuk merehabilitasi nama baik Partai Komunis Indonesia (PKI). Makalah ini bertujuan untuk melakukan rekam jejak timbul-tenggelamnya pemikiran dan gerakan Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam lintas sejarah Indonesia, sejak awal kedatangan, keruntuhan dan kebangkitan kembali di era reformasi.

Artikel ini merupakan bagian dari makalah ilmiah berjudul: Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasca Reformasi Indonesia
Penulis: Arif Wibowo - Koordinator Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment