(dok/ist)
Ilustrasi.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan politik dinasti? Konsep ini merujuk pada sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan hubungan darah atau keturunan segelintir orang. Jadi, meritokrasi sama sekali tak masuk pertimbangan dalam merekrut anggota keluarga untuk masuk ke dalam struktur kekuasaan.
Lantas apa bedanya dengan nepotisme? Sekilas memang mirip, tetapi nepotisme tak selalu mengandalkan hubungan darah atau kekeluargaan. Dalam nepotisme yang penting ada hubungan erat di masa lalu, bisa keluarga bisa juga teman.
Dalam konteks politik Indonesia dewasa ini, fenomena mana yang lebih mengemuka: politik dinasti atau nepotisme politik? Mengingat tak semua daerah, seperti Banten maupun provinsi lainnya yang dikuasai satu keluarga atau kerabat yang sama, lebih cocok jika konsep yang digunakan nepotisme. Apalagi dalam kasus Atut, yang menjadi wakil gubernur (Rano Karno) sama sekali tak punya hubungan keluarga dengannya.
Pertanyaannya, baik untuk politik dinasti maupun nepotisme politik, adakah yang salah jika keluarga atau teman diajak masuk ke struktur kekuasaan? Jelas ada, bahkan banyak.
Pertama, salahlah kalau mereka yang diajak ikut itu tak didasari prinsip meritokrasi alias tidak memiliki kapasitas dan kompetensi yang dipersyaratkan. Kedua, salahlah kalau prosedur rekrutmen (semisal tahapan seleksi) dilanggar alias tak dijalani. Asas "mumpung ada keluarga atau teman yang pejabat" harus ditentang dalam hal ini.
Nepotisme politik atau politik koncoisme ini juga merupakan virus yang bisa melumpuhkan demokrasi. Meskipun dilakukan melalui prosedur formal yang harus dijalani, reproduksi kekuasaan yang primitif ini tetap saja merusak demokrasi.
Hal ini karena di sana asas kesetaraan dalam kesempatan menjadi terkoyak karena hubungan kekeluargaan atau pertemanan dengan sang petahana (incumbent). Alhasil, ia jadi seperti parasit yang membuat tubuh tak bisa berkembang optimal.
Praktik reproduksi kekuasaan yang kontra demokratis ini seiring waktu kian meluas ke berbagai wilayah lain di Tanah Air, misalnya di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah. Bahkan di partai politik, seperti di Partai Demokrat memang politik koncoisme ini lazim berkecambah di negeri yang sedang berkembang secara politik.
Dulu, Argentina dan Filipina merupakan dua negara yang berhasil berkembang mendahului negeri-negeri lain. Namun, surut karena digerogoti politik koncoisme. Oleh karena itu, kita berharap Indonesia tak masuk ke dalam perangkap yang sama. Jika politik koncoisme menyelinap di banyak aspek dan lembaga, niscaya Indonesia hanya menyisakan para drakula yang haus menghisap "darah".
Sebenarnya keberatan kita atas reproduksi kekuasaan yang primitif ini masih banyak lagi. Kita juga khawatir suatu saat orang-orang yang berkuasa itu berkolusi demi mengejar kepentingan mereka sendiri.
Contohnya istri menjadi kepala daerah, sedangkan suami anggota lembaga legislatif, bukankah potensi kolusi yang koruptif sangat terbuka lebar di sana? Bayangkan, misalnya, kepala daerah yang notabene sang istri mengajukan proposal anggaran proyek pembangunan ke panitia anggaran di parlemen yang diketuai suaminya.
Tanpa banyak periksa, sang suami pun langsung menyetujuinya. Lama-kelamaan kerja sama politik dan ekonomi seperti ini, selain rawan korupsi, niscaya mengurangi kualitas berbagai proyek atau pekerjaan. Inilah dampak negatifnya.
Politik koncoisme juga bisa mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi sehingga menyebabkan ketidakmerataan. Selanjutnya ketidakmerataan distribusi ekonomi mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi pun menjadi tinggi.
Itulah realitas di Banten. Pertumbuhan ekonomi secara fiskal dan makro sangat baik, bahkan mencapai angka 5-6 persen. Sementara pendapatan asli daerah menembus angka Rp 5-6 triliun. Namun, capaian itu sangat bertolak belakang dengan realita di tingkat mikro.
Kemiskinan di Banten menyentuh angka 5,74 persen, sedangkan pengangguran menembus 10,10 persen pada Maret 2013. Angka pengangguran itu tercatat sebagai yang tertinggi se-Indonesia. Selain itu, angka gizi buruk di provinsi yang memiliki Pelabuhan Merak ini memperoleh "prestasi" paling atas di Jawa.
Belum lagi banyaknya jalan utama yang sering rusak, meski telah berkali-kali diperbaiki. Padahal di sana terdapat cukup banyak objek wisata yang indah dan terkenal. Tapi ironisnya, di sana juga terdapat jembatan gantung "Indiana Jones" di Desa Sanghiang Tanjung, Kabupaten Lebak, yang harus dilalui para siswa SD untuk bisa tiba di sekolahnya setiap hari.
Kabarnya jembatan tersebut sudah diperbaiki, tapi tanpa disangka-sangka terungkap lagi sebuah kenyataan pahit: ada jembatan "Indiana Jones" lain yang lebih parah karena hanya terbuat dari kawat baja. Jembatan di atas Sungai Ciliman itu biasa dilalui para siswa SD Negeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, untuk sampai ke sekolah mereka.
Pola lain politik nepotisme juga bisa ditemukan dalam beberapa pilkada yang sudah lewat. Contohnya Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.
Dari semua yang disebut itu, contoh yang paling luas memang masih dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Data tersebut belum termasuk hubungan kekerabatan dengan suami (DPR), anak (DPD), dan menantu (DPRD) yang juga duduk di lembaga negara.
Mungkin lantaran itulah Kementerian Dalam Negeri baru-baru ini mengusulkan pembatasan kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada. Hingga kini gagasan tersebut masih digodok bersama dengan DPR.
Prinsipnya disetujui, hanya detail-detail substansinya yang masih terus dibicarakan. DPR lebih memilih adanya pengetatan syarat kompetensi, rekam jejak, dan integritas alih-alih membatasi keluarga atau kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada.
Presiden Yudhoyono pernah menyindir hal ini ketika memberikan pernyataan pers, 11 Oktober lalu. "Meskipun UUD 1945 maupun UU tidak pernah membatasi siapa menjadi apa di pemerintahan, apakah ayah, ibu, anak, adik itu menduduki posisi-posisi di jajaran pemerintahan, tetapi saya kira kitalah yang mesti memiliki norma batas kepatutan, yang patut itu seperti apa dan yang tidak patut juga seperti apa," katanya.
Yudhoyono pun mengingatkan bahayanya ketika kekuasaan politik menyangkut dengan kekuasaan untuk melaksanakan bisnis. Menurutnya, potensi godaan dan penyimpangannya bisa sangat besar.
Pertanyaannya, kenapa Presiden Yudhoyono harus mengangkat isu ini? Bukankah itu sama saja menempelak dirinya sendiri selaku pemimpin tertinggi di lembaga pemerintahan? Lagi pula, apakah keluarga dan kerabatnya betul-betul terhindar dari jebakan "permainan" praktik politik koncoisme ini?
*Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment