Friday, November 15, 2013

[batavia-news] Masa Depan NTT di Perairan Laut

 

res: Bagus sekali kalau kenyataan masa depan gemilang bisa terwujud bagi NTT, tetapi masa depan itu kapan ataukah masa depan itu berada di horisont yang kalau dituju ke depan masih saja garis horisont tetap jauh dan tidak akan pernah bisa dicapai. Pertanyaan berikut ialah mengapa baru sekarang dikatakan masa depan NTT, apakah dari dulu selama kurang lebih 70 tahun tidak ada masa depan bagi NTT?
 
Kalau mengenai perikanan rezim berkuasa di Jakarta telah menanda tangani perjanjian dengan beberapa negara (paling tidak dua negara) dimana diberikan izim untuk mereka melakukan penangkapan ikan di perarian Nusantara. Negera-negara tsb mempunyai armada perikanan yang besar lagi modern, dibandingkan dengan kemampuan nelayan-nelayan NTT dan di wilayah  sekitarnya.  Dapat dipastikan bahwa hasil keuntungan dari penangkapan ikan tidak akan diberikan kepada rakyat NTT, apalagi untuk mempekerjakan tenaga kerja NTT, sama halnya dengan perusahaan-perusahan perikanan yang dibentuk baru-baru ini di Jakarta.
 
Kalau hutan bisa  dibabat seenaknya, maka penangkapan ikan di laut pun bisa tidak akan ada beda  penyedotannya. Kalau hutan dibabat bisa dilihat, tetapi kalau ikan habis di lautan akan sulit di lihat dengan mata dan baru diketahui jika hasil penangkapan makin hari makin berkurang  menuju kepunahan. Contoh , sebelumnya penangkapan ikan di laut Baltik dan laut Utara  tanpa batas, akibatnya ikan hampir  menuju kepunahan total. Untuk mencegah kehabisan ikan maka pemerintah negeri-negeri berbatasan menentukan jumlah quota yang boleh ditangkap oleh masing-masing negara. Di  USA dan  Kanada penangpan ikan dan kepiting di Laut Bering  ditentukan lamanya waktu bisa menangkap, hal ini terkait pemeliharan agar tidak habis ditangkap dan ada waktu untuk ikan-ikan dan kepiting bisa bermamak biak dan quotanya bisa pulih kembali .  Contoh lain ialah laut disekitar Somalia, dulu banyak ikan, dengan adanya armada asing menangkap ikan tanpa aturan, maka makin hari makin jauh jarak bagi nelayan somalia untuk menangkap ikan, karena ikan dipesisir sudah  tidak ada untuk  untuk ditangkap maka oleh sebab itu susah bagi nelayan kecil untuk mencari nafkah.
 
Silahkan baca artikel-artikel dibawah ini :
 
3      How many more fish in the sea  :  ttp://www.aljazeera.com/indepth/features/2012/06/201261462834779767.html
3)     Oceans' Fish Could Disappear by 2050  : http://news.discovery.com/earth/oceans/oceans-fish-fishing-industry.htm
 
Semoga ada faedahnya.
 
 
 
Masa Depan NTT di Perairan Laut
Daniel Tagukawi | Senin, 11 November 2013 - 14:30 WIB
: 89
 

(dok/ist)
Pantai Kolbano NTT.
Semestinya NTT tidak layak masuk kategori tertinggal atau bisa segera keluar dari zona tertinggal.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan. Setidaknya, ada 1.192 pulau baik yang dihuni maupun tidak. Dari 21 kabupaten dan satu kota di NTT, semua kabupaten yang berjumlah 21 kabupaten masuk kategori tertinggal. Hanya Kota Kupang yang lolos dari status ketertinggalan.

Tentu, terlalu banyak alasan untuk mencari penyebab ketertinggalan provinsi yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan laut.

Ada tantangan besar untuk mengelola wilayah kepulauan dan perairan ini. Di satu sisi wilayah kepulauan menuntut biaya besar untuk pengembangan infrastruktur. Di sisi lain, ada juga potensi perairan yang sesungguhnya bisa dijadikan modal untuk mengangkat kesejahteraan di NTT.

Berdasarkan data Provinsi NTT, luas wilayah daratan sekitar 47.349,9 km2, wilayah laut hampir empat kali lipatnya, sekitar 200.000 km2. Dengan kondisi seperti ini, sesungguhnya potensi terbesar NTT berada di laut. Apalagi, musim kemarau di NTT sekitar delapan bulan dan empat bulannya musim hujan.

Hanya saja, fakta menunjukkan potensi kelautan NTT belum disentuh dengan baik. Bahkan, sebagian terbesar penduduk NTT masih berorientasi ke darat, sehingga yang bekerja sebagai nelayan hanya sekitar 101.522 orang dari 5,1 juta penduduk NTT.

Padahal, kekayaan laut NTT sangat besar, bukan saja sebagai penghasil ikan, melainkan juga menawarkan berbagai potensi wisata laut. Saat ini, sesuai data Pemerintah Daerah (Pemda) NTT, ada delapan kawasan konservasi perairan laut di NTT.

Pertama, Taman Nasional Laut Sawu (3.517.170 ha) yang meliputi Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kupang, Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Barat, dan Manggarai.

Kedua, Kawasan Konservasi Laut Daerah Alor (400.008,3 ha) di Kabupaten Alor. Ketiga, Konservasi Perairan Daerah Sikka (42.250 ha) di Kabupaten Sikka. Keempat, Taman Wisata Alam (TWA) Gugusan Pulau Teluk Maumere (59.450 ha) di Sikka.

Kelima, Taman Nasional Komodo (132.572 ha) di Manggarai Barat. Keenam, TWA Tujuh Belas Pulau Riung (9.900 ha) di Ngada. Ketujuh, Cagar Alam Riung (2.000 ha) di Ngada. Kedelapan, TWA Teluk Kupang (5.000 Ha) di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.

Dari delapan wilayah konservasi ini, Perairan Laut Sawu belum mendapat penetapan dari pemerintah pusat sebagai taman nasional, meski kegiatan konservasi tetap berlangsung di kawasan ini.

Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Agus Dermawan, ketika mengikuti Rakor Taman Nasional Laut Sawu di Kupang pada 1 November mengatakan, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi dan dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu telah dicadangkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.38/MEN/2009 tanggal 8 Mei 2009, bertepatan dengan kegiatan World Ocean Conference di Manado.

Penetapan Taman Nasional (TN) Laut Sawu sebenarnya sudah pada tahapan finalisasi. Namun, pihaknya tidak mau terburu-buru melakukan penetapan. Ada konsekuensi dan komitmen yang harus dijaga bersama untuk kelangsungan pengelolaan TN Laut Sawu. Selain itu, ia mengatakan, harus ada rencana pengelolaan yang jelas.

"Ada 10 kabupaten yang terkait di sini, sehingga perlu kehati-hatian. Kita tidak mau nanti setelah ditetapkan, justru ada yang berubah lagi. Kita butuh komitmen," katanya di Kupang, 1 November lalu.

Selama ini, Agus mengatakan, persoalan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang melintasi perairan laut sawu juga menjadi titik krusial. Dengan adanya ALKI, wilayah itu menjadi alur perlintasan kapal sehingga dikhawatirkan menganggu konservasi.

Namun, Kolonel Laut Sunarno Adi dari Lantamal VII Kupang menjelaskan, keberadaan ALKI tidak akan mengganggu konservasi sebab ada peraturan yang jelas bagi kapal asing yang melintasi kawasan konservasi, untuk tidak melakukan pencemaran atau melakukan berbagai aktivitas di kawasan laut. "Semua ada aturan untuk melintas bagi kapal asing," ia menegaskan.

Keanekaragaman

Perairan Laut Sawu merupakan wilayah coral triangle atau wilayah segitiga terumbu karang dan memiliki keanekaragaman hayati laut sangat tinggi.

Sesuai hasil survei Reconaissance tahun 2001-2002, setidaknya ada 336 jenis ikan karang, 31 spesies mamalia laut, terdiri dari 18 spesies paus, 12 spesies lumba-lumba, dan satu jenis dugong. Juga ditemukan enam spesies penyu di Taman Laut Sawu.

Survei lain pada September 2013 yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) Indonesia bekerja sama dengan Dr Benjamin Kahn dari APEX Environmental, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan berbagai institusi lain, menemukan setidaknya 1.595 fauna laut dari berbagai spesies menjadikan Laut Sawu sebagai habitat atau tempat migrasi.

Survei ini juga menemukan setidaknya 10 spesies mamalia laut terancam keberadaannya, yakni paus sperma, paus biru, paus bongkok, paus pembunuh palsu, paus kepala semangka, lumba-lumba abu-abu, lumba-lumba fraser, lumba-lumba paruh panjang, lumba-lumba totol, dan lumba-lumba hidung botol.

"Kawasan ini memiliki keragaman biota sangat tinggi dan merupakan tempat sempurna, baik untuk migrasi maupun habitat beragam spesies paus dan lumba-lumba, burung laut, serta fauna laut lainnya," ungkap Benjamin Kahn saat memaparkan hasil survei di Kupang, 1 November lalu.

Keanekaragaman Laut Sawu tidak lepas dari posisinya di antara Samudra Pasifik dan Hindia, memiliki parit laut dengan kedalaman yang dapat mencapai lebih dari 2.000 meter.

Kombinasi antara arus kuat dan tebing-tebing curam bawah air menjaga karang tetap dingin, serta melindungi karang dari pemutihan selama periode meningkatnya suhu air. Kondisi ini juga membuat habitat laut lebih produktif, menjaga populasi ikan, seperti tuna dalam jumlah besar dan membuat Laut Sawu sebagai "keranjang roti" kawasan Nusa Tenggara.

Potensi Ekonomi

Dengan kekayaan hayati seperti itu, sesungguhnya Taman Laut Sawu menyimpan potensi ekonomi besar.

Menurut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Rokhmin Dahuri, di Kupang, 1 November, setidaknya ada sembilan potensi ekonomi yang bisa dikembangkan di Laut Sawu, yakni perikanan tangkap, perikanan budi daya laut (mariculture), perikanan budi daya air payau (tambak), industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, migas dan mineral lain, agribisnis dan agroindustri, transportasi laut, serta industri dan jasa maritim.

Rokhmin memberikan simulasi tambak intensif udang vaname di perairan laut Sawu. Dengan luas areal 50.000 ha (5.000 ha per kabupaten), setiap tahun diperkirakan menghasilkan produksi 200.000.000 kg per tahun atau 2.000.000 ton per tahun (40 ton per ha).

Dengan produksi seperti itu, akan menghasilkan US$ 10 miliar per tahun atau Rp 100 triliun per tahun (harga US$ 5 per kg). Usaha ini juga menyedot tenaga kerja langsung sekitar 200.000 orang untuk areal 50.000 ha.

Itu baru tambak udang vaname. Masih ada potensi rumput laut. Rokhmin memberikan simulasi budi daya laut potensial seluas 3,2 juta ha. Dengan areal seluas 100.000 ha, berpotensi menghasilkan 2.000.000 ton kering per tahun. Dengan harga US$ 1,5 per kg, ada potensi penghasilan US$ 300 juta per tahun atau sekitar Rp 27 triliun per tahun, dan mampu menyerap sekitar 800.000 tenaga kerja langsung.

Kalau saja ada kebijakan dan pengelolaan yang tepat di bidang kelautan, semestinya NTT tidak layak masuk kategori tertinggal atau setidaknya bisa segera keluar dari zona tertinggal.

Nelayan yang ditemui di Rote pada 2 November, juga mengungkapkan betapa wilayah laut NTT sangat kaya aneka ragam hasil laut. "Wilayah perairan di sekitar Rote sangat kaya dengan ikan. Tapi, kami tidak didukung peralatan tangkap memadai," kata Dahlan Asrap, seorang nelayan di Pantai Papela, Rote Ndao.

Rekan Dahlan, MJ Asenong, juga mengungkapkan hal senada. Kesulitan utama nelayan bukan hanya peralatan tangkap yang terbatas, melainkan juga kesulitan mendapatkan es batu yang cukup. "Kalau ikan sangat banyak, ada kesulitan peralatan tangkap dan penjualan. Kalau tidak ada es, nanti ikan mudah rusak," katanya.

Keduanya hanya berharap pemerintah memperhatikan nelayan sehingga bisa keluar dari kesulitan ekonomi. "Misalnya kami gunakan es dari kulkas, kalau listrik padam ya kita pilih tidak melaut, karena tidak ada es," ujarnya

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment