Friday, November 15, 2013

[batavia-news] Pemilu 2014: Titik Balik Merebut Hak Rakyat

 

res : Pemilu hanya membuat orang keliru! Bagaimana rakyat  bisa merebut hak mereka pada  Pemilihan Umum yang akan datang, jika oknom-oknom yang akan dipilih adalah mereka itu-itu juga.  Jadi  rakyat hanya dipakai sebagai batu loncatan untuk mengesahkan kedudukan mereka itu-itu juga, kalau pun ada nama-nama atau muka-muka baru  tetapi partainya itu –itu juga
bukan berarti akan ada sesuatu perubahan mendasar, tetapi  itu hanya pergantian wajah dan nama seperti pergantian pengawal di depan istana raja.
 
 
 
Pemilu 2014: Titik Balik Merebut Hak Rakyat
Sulardi* | Jumat, 15 November 2013 - 13:32 WIB
: 63
Banyak cara dilakukan politisi untuk menarik simpati rakyat.

Pemilu 2014 secara parktis tidak jauh dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pada saat pemilihan umum itulah, baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden, warga negara berhak memberikan hak-haknya kepada siapa pun yang ia pilih.
 
Setelah itu, hak warga negara sepenuhnya ada pada para wakil rakyat, maupun pemerintahan. Hak-hak rakyat yang telah beralih pada para penguasa sepenuhnya dipergunakan untuk menikmati kekuasaan yang berlimpah harta, fasilitas, dan segala kemudahan.
Mereka menjadi lupa amanah warga negara untuk menyelenggarakan pemerintahan untuk kepentingan warganya.

Kondisi ini mirip konstruksi contract social (perjanjian masyarakat ) yang dikembangkan para pemikir abad XVII dan XVIII. Saat itu dunia pemikiran sosial, hukum, dan kenegaraan dikuasai teori hukum alam.

Sebenarnya, ada dua konstruksi perjanjian masyarakat yang disampaikan penganut teori hukum alam. Pertama, konstruksi perjanjian masyarakat memihak pada rezim negara dan merampas hak rakyat.

Konstruksi perjanjian masyarakat ini justru memberi legalitas dan pembenaran terhadap penguasa negara yang sangat absolut dan sewenang-wenang sehingga tiadanya jaminan akan hak-hak rakyat. Konstruksi perjanjian masyarakat pertama menggambarkan terjadinya negara melalui perjanjian masyarakat.

Perjanjian ini merupakan fase perubahan dari masyarakat alamiah menuju masyarakat yang tertib. Ketika perjanjian masyarakat itu terjadi, individu atau warga menyerahkan hak-haknya kepada penguasa secara langsung. Oleh karena itu, sesaat setelah perjanjian masyarakat, hak rakyat telah beralih kepada penguasa sehingga penguasa mempunyai kekuasaan yang besar atas hak warganya.

Inilah konstruksi yang memberi kebenaran terhadap negara-negara di Eropa yang pada abad XVI sampai akhir abad XVIII diselenggarakan secara absolut dan sewenang–wenang. Seorang pemikir abad XVII yang berpengaruh pada waktu itu adalah Thomas Hobbes (1558-1579).

Kedua, konstruksi perjanjian masyarakat yang disampakan para pemikir abad XVIII. Ini berbeda 180 derajat dibandingkan konstruksi yang disampaikan para pemikir abad XVII. Konstruksi perjanjian masyarakat yang dikembangkan ini justru menentang pemerintahan yang absolut dan sewenang-wenang.

Perjanjian masyarakat yang digambarkan para pemikir abad XVIII ini menunjukkan dengan adanya perjanjian masyarakat itu, penguasa dalam menjalankan kekuasaannya dibatasi keinginan masyarakat.

Pada saat perjanjian masyarakat terjadi, individu menyerahkan haknya kepada masyarakat, kemudian masyarakat memberi mandat kepada penguasa untuk berkuasa, tetapi kekuasaan yang dijalankan telah dibatasi sesuai yang dimaui rakyat.

Menurut seorang pemikir abad XVIII, yakni Jean Jacques Rousseau ( 1712-1778), perjanjian masyarakat melahirkan dua hal: masyarakat dan volunte generale atau kemauan umum. Kemauan umum sebagai kekuasaan tertinggi dan dimiliki masyarakat. Konsekuensi dari ajaran Jean Jacues Rousseau itu adalah rakyat berhak mengganti penguasa jika dalam menjalankan kekuasaannya bertentangan atau tidak sesuai dengan kemauan rakyat.

Ajaran inilah yang mencetuskan teori kedaulatan rakyat. Dahsyatnya, ajaran ini dapatmemprovokasi rakyat Prancis pada waktu itu sehingga mendorong terjadinya Revolusi Perancis 4 Juli 1789 yang menumbangkan Raja Loise XVI yang sangat absolut itu.

Setelah terjadi revolusi, Prancis menjadi negara yang mempunyai jargon liberty, fraternity, dan egality. Bahkan, kini Perancis menjadi negara tanpa raja yang dikelilingi negara-negara monarki Eropa.

Hal yang disampaikan di awal tulisan ini sebangun dengan model perjanjian masyarakat abad XVII. Ini menjelaskan alasan terjadinya perampasan kedaulatan rakyat dari elite politik yang begitu serakahnya berebutan "kue-kue" negara melalui korupsi diam-diam, korupsi ditangkap tangan, korupsi terang-terangan, serta korupsi yang ditangkapi KPK.

Oleh sebab itu, mari kita segera membenahi terampasnya hak rakyat melalui dua hal, yakni rekrutmen elite politik dan terbentuknya pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat secara revolusioner.

Ini karena bangsa dan negara kita membutuhkan gagasan-gagasan konkret untuk segera melepaskan diri dari demokrasi ecek-ecek dan terpuruknya hukum ini. Aturan main rekrutmen elite politik saat ini masih berada di tangan elite politik yang bancakan hak rakyat itu, pasti tidak mungkin ada jalan bagi elite politik yang bernurani terpilih, sepanjang sistem rekrutmen masih ada di tangan mereka.

Hal tersebut menyebabkan tidak munculnya pimpinan nasional yang kuat. Ini karena siapa pun pimpinan yang terpilih akan tersandera kekuasaanya akibat model rekrutmen kepemimpinan nasional "utang budi" antara pimpinan terpilih dengan elite politik yang ikut membuka jalan bagi terpilihnya sang pimpinan.

Dengan demikian, 10 atau 20 tahun ke depan hak rakyat masih akan terampas elite politik, sepanjang belum ada gagasan gagasan revolusioner untuk membenahi negara ini. Lewat tulisan ini dan sering kali lewat forum-forum diskusi dan seminar, saya memprovokasi warga Indonesia untuk mulai berpikir perlunya merekonstruksi Indonesia.

Saya mengajak berpikir agar kita tidak lagi terjebak pada doktrin NKRI harga mati. Bagaimana mungkin di negara yang semangat NKRI-nya harga mati itu, masih saja dengan mudahnya ada pemerintah daerah di ibu kota negara menghukum melalui operasi yustisi dengan memberi sanksi denda atau dikembalikan ke daerah asal kepada warga yang tidak ber-KTP pemerintahan setempat.

Bukankah dalam konstitusi telah dijamin setiap warga negara berhak bertempat tinggal sesuai dengan yang dikehendaki dan berhak memilik tempat mereka mencari nafkah? Bandingkan dengan Negara Uni Eropa, siapa pun warga pendatang yang memasuki wilayah Uni Eropa cukup mempunyai izin tinggal di satu negara tujuan. Kemudian, mereka tak perlu izin tinggal lagi untuk berpindah ke berbagai negara di kawasan Uni Eropa.

Marilah kita rebut hak rakyat itu dengan cara memilih wakil rakyat, baik itu di tingkat lokal dan nasional, dengan melihat kualitas mereka, bukan ketenaran dan bukan karena janji-janji gombal yang dilampiri uang yang tak seberapa. Mudah-mudahan dengan cara ini, hak kita sebagai pemilik kedaulatan rakyat turut menentukan nasib bangsa dan negara.

Jadikan Pemilu 2014 sebagai titik balik untuk merebut kembali hak rakyat. Kalau tidak, Pemilu 2014 tak ubahnya memberi legitimasi kepada penguasa untuk melakukan apa pun sesuai kehendaknya sehingga tak ada maknanya bagi rakyat.

*Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber : Sinar Harapan

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment