(dok/ist)
JAKARTA – Petisi penolakan pemberian gelar pahlawan untuk Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo beredar di internet. Petisi ini dibuat oleh Soe Tjen Marching, perempuan Indonesia yang tinggal di London. Marching adalah anak korban tahanan politik 1965-1966. Hingga berita ini diturunkan sudah ada 3.898 tanda tangan dukungan terhadap petisi tersebut.
Dalam petisi yang diberi tajuk "Don't Make Sarwo Edhie a Hero" tersebut, Marching menulis bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie hanya akan menambah tumpukan ketidakadilan terhadap korban peristiwa 1965 dan keluarga mereka.
Seperti diketahui, Sarwo Edhie adalah Panglima Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), cikal bakal Kopassus TNI AD.
Di tahun 1965-1967, RPKAD di bawah Sarwo Edhie dikenal sebagai pasukan yang terlibat aktif dalam penumpasan kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sarwo Edhie adalah juga ayah kandung mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Akhir pekan lalu, Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo menyatakan pemerintah telah menyetujui usulan gelar pahlawan nasional untuk Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo. Gelar pahlawan nasional kepada Sarwo Edhie itu akan disematkan pada 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Terkait usulan gelar pahlawan ini, Ilham Aidit, putra Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, mempertanyakan dasar pengangkatannya. Menurutnya gelar pahlawan harus diberikan kepada orang yang memiliki kontribusi cukup signifikan bagi bangsa dan negara. Sarwo Edhie, menurutnya, tidak memiliki kontribusi itu.
Ilham mengingat, dalam pertemuan dirinya dengan Sarwo Edhie dalam acara pelantikan anggota Wanadri di Gunung Tangkuban Parahu, Februari 1983, Sarwo Edhie menyebut bahwa "pembersihan 1965" adalah sebuah kekeliruan. "Bagaimana ia dianggap berjasa karena berhasil menumpas PKI, wong dia mengakui itu keliru," ujar Ilham kepada SH, Jumat (15/11).
Sementara itu, putri Jenderal (Purn) Ahmad Yani, Amelia Yani, menyatakan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Sarwo Edhie sebaiknya ditunda. Menurutnya kurang tepat pemberian gelar itu dilakukan di zaman Presiden Yudhoyono yang merupakan menantu Sarwo Edhie sendiri.
"Pak Sarwo Edhie itu layak mendapat gelar pahlawan nasional, tetapi mungkin waktunya kurang tepat saat ini ketika menantunya sedang berkuasa," Amelia mengungkapkan.
Menurutnya, pengakuan kepahlawanan ini lebih tepat disematkan setelah Presiden Yudhoyono tidak lagi berkuasa. Dengan demikian, tidak ada lagi keragu-raguan dan dugaan publik bahwa gelar diberikan hanya karena hubungan ayah-menantu, melainkan karena memang seorang Sarwo Edhie layak mendapat gelar itu.
Menurut Amelia, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri pun tidak memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soekarno, ayahnya. Padahal, bisa saja sebagai presiden, Megawati mendorong agar ayahnya mendapat gelar tersebut.
Apalagi, seorang Soekarno memang layak. Tidak ada seorang pun yang meragukan jasa Soekarno. Tetapi, Megawati tidak memberikan gelar itu kepada Soekarno. Kepahlawanan Soekarno baru diberikan saat Presiden Yudhoyono berkuasa.
Peristiwa 1965
Menurut Amelia, Sarwo Edhie layak dijadikan pahlawan. Dia berjuang sebagai tentara sejak zaman PETA yang dibentuk Jepang. Di mata Amelia, Sarwo Edhie juga seorang pancasilais sejati. "Ketika ayah saya diculik, beliau marah, bukan hanya sebagai sahabat, tetapi karena sebagai kawan seideologi," tuturnya.
Namun, sejarawan Asvi Warman Adam mengingatkan, sebelum gelar pahlawan itu diberikan, pemerintah harus memastikan bahwa Sarwo Edhie tidak terlibat dalam pembunuhan September 1965 yang menewaskan ribuan jiwa. "Harus dituntaskan terlebih dulu sebelum Sarwo Edhie diangkat atau diberikan gelar pahlawan. Ini masalah yang sangat besar menurut saya," kata Asvi.
Apalagi, menurut Asvi, hingga kini belum juga ada kejelasan terkait siapa yang patut bertanggung jawab atas pembunuhan dan pembantaian pada September 1965. Apakah itu menjadi tanggung jawab Soeharto, Sarwo Edhie atau orang lain. Atas dasar itu sebaiknya gelar pahlawan diberikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
"Pembunuhan setengah juta orang itu kan masalah yang penting untuk bangsa ini. Agak ironis dan tidak masuk akal kalau gelar pahlawan diberikan kepada orang yang terlibat dalam pembunuhan itu," tuturnya.
Seperti diketahui, laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait adanya pelanggaran HAM di tahun 1965 ke Kejaksaan Agung sampai sekarang belum ada kejelasan. Laporan tersebut saat ini sudah dikembalikan Kejaksaan Agung ke Komnas HAM. "Sebaiknya, ini dituntaskan dulu (laporan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM tahun 1965), sebelum gelar pahlawan diberikan," Asvi mengimbuhkan.
Amelia mengakui memang banyak pro dan kontra terhadap usulan gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie, terutama karena ia dianggap bertanggung jawab atas pembantaian orang-orang komunis dan yang dianggap simpatisannya.
Tetapi, menurut Amelia, orang harus paham situasi saat itu. "Sarwo Edhie sebagai tentara melaksanakan tugasnya. Negara saat itu dalam keadaan genting, tidak beraturan, karena pembunuhan terjadi di mana-mana. Sarwo Edhie termasuk orang yang ditugasi menjaga ketertiban," tuturnya. (Fransisca Ria Susanti)
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment