Sejak lama kekayaan laut Aru dikuras tanpa memberi sumbangan berarti bagi peningkatan taraf hidup masyarakat di sana. Dan kini 6 pulau di wilayah kepulauan Aru terancam oleh rencana pembukaan 500 000 hektar perkebunan tebu di bawah bendera Menara Group (terdiri dari 28 perusahan) dari jakarta yang akan memangkas habis hutan-hutan. Masihkah kita akan berdiam saja?
AKHIR Agustus lalu, lebih dari 1000 orang turun ke jalan di kota Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, provinsi Maluku. Mereka melakukan long march dari lapangan Yos Sudarso mengelilingi kota Dobo, sebelum akhirnya bergerak menuju Dinas Perhutanan dan Perkebunan, kantor DPRD maupun Pemkab Aru untuk mendesak pihak berwenang mencabut izin prinsip PT Menara Group dan perusahaan sejenis yang sedang melakukan eksplorasi kehutanan di wilayah itu. Demonstrasi besar-‐besaran masyarakat di sana, termasuk elemen mahasiswa dan masyarakat adat, dipicu oleh berita bahwa sekitar 500.000 hektar tanah hutan di enam pulau di kepulauan Aru rencananya akan menjadi perkebunan tebu. Jika rencana ini jadi dilaksanakan—dan izin prinsip maupun rekomendasi sudah diberikan—maka itu berarti hutan-hutan kepulauan Aru yang selama ini menjadi tempat tinggal burung Cenderawasih, Kanguru dan Kakak Tua Hitam akan lenyap. Bukan hanya itu. Kepulauan Aru selama ini menjadi penyangga utama keseimbangan ekologis bagi pulau-pulau di sekitarnya.
Jika kepulauan itu dialihfungsikan menjadi ladang tanaman tebu, sudah bisa diperkirakan "kiamat ekologis" akan mengancam. Belum lagi dampak sosial yang akan diakibatkan. Hutan di kepulauan itu selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Adat yang tinggal di sana.
Apalagi areal yang akan dieksploitasi menyentuh situs-‐situs adat yang tidak boleh dijamah, boro-boro dirusak. Itu sebabnya masyarakat Adat di kepulauan Aru marah. Mereka berusaha menemui Gurbernur Maluku, namun gagal karena sedang berada di Jakarta. Karena itu, Selasa (10/9) lalu, mereka berbondong-bondong datang ke kantor Balitbang GPM (Gereja Protestan Maluku) untuk menyampaikan isi hatinya.
"Kalau ada perusahaan perikanan mau melakukan investasi di Aru, kami akan menyambut dengan tangan terbuka. Tetapi pembukaan lahan tanaman tebu akan menghancurkan hutan dan menjarah wilayah tanah Adat," ujar Selpianus Kwalepa, Sekretaris Lembaga Adat Jargaria.
Ia datang bersama Ketua Lembaga Adat Jargaria Z. Sair, Ketua Ursia Yoseph Gaite, Ketua Urlima Saleh Jerumpun, aktivis LSM, dll. Mereka merasa direndahkan, karena tanah yang diwarisi dari nenek moyang dan selama ini sudah dijaga baik-baik, kini justru mau diutak-atik oleh orang lain tanpa meminta izin dari pemiliknya yang sah.
"Aneh, kan? Kalau saya masuk ke rumah Bapa Pendeta tanpa suara, lalu ambil barang-barang, Bapa marah ka seng?" kata Selpianus dengan logat Maluku pada Pdt. Jacky Manuputty, Ketua Balitbang GPM.
Dari data sementara yang dikumpulkan Balitbang GPM, rencana lahan untuk eksploitasi perkebunan tebu itu akan mencakup sekitar 28 desa yang tersebar di kepulauan Aru. Konsesi lahan setiap desa yang diperuntukkan untuk perkebunan tebu berbeda-beda, mulai dari 11.590 hektar sampai 20.000 hektar. Masing-masing lahan ini sudah dipatok lewat izin prinsip yang dikeluarkan oleh Bupati Aru serta rekomendasi dari Gubernur Maluku kepada 28 perusahaan yang tergabung dalam Menara Group.
Banyak pihak meragukan, apakah pengeluaran izin dan rekomendasi itu sudah melalui proses tahapan AMDAL yang benar. Malah, dari analisa sementara, kuat ditengarai bahwa pemberian izin dan rekomendasi itu "menabrak" Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut yang dikeluarkan pada Mei 2011.
Sementara itu, Gurbernur Maluku justru menandatangani izin ke-28 perusahaan pada tanggal 29 Juli 2011. Belum lagi fakta, bahwa dalam Rencana Tata Ruang Kepulauan Aru tidak ada rencana peruntukan bagi pengembangan perkebunan berskala besar. Kasus yang terjadi di Kepulauan Aru itu hanyalah salah satu dari ratusan atau ribuan kasus serupa di berbagai pelosok tanah air yang meruyak sejak Otonomi Daerah diberlakukan lewat UU No. 22/1999 (kemudian diganti dengan UU No.32/2004). Dengan itu, otoritas pemberi izin untuk melakukan eksploitasi pertambangan maupun perkebunan beralih dari pemerintah pusat ke daerah, entah itu Gurbernur, Bupati, maupun Kepala Desa.
Kuat ditengarai, lisensi itu bak mesin ATM untuk menarik uang sebanyak-banyaknya dari para investor ke daerah-daerah (lihat Ferdy Hasiman, "Demokrasi atau Borjuasi", Kompas, 21 September 2013). Maka tidak heran jika eksploitasi sumberdaya alam besar-besaran yang akan mengakibatkan "kiamat ekologis" terjadi di mana-mana. Apalagi kalau di belakangnya ada motif mengeruk keuntungan sebesar-besarnya guna menutup money politics semasa kampanye dulu (baca juga, Newsletter Lantan Bentala No 152/Th V, 31 Desember 2012 – 13 Januari 2013). Haruskah "kiamat ekologis" Aru terjadi? Apakah kita akan berdiam diri saja? [TS]
Sumber: Lantan Bentala No. 171/ThVII/23 September – 6 Oktober 2013
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment