res : Menurut berita dikatakan bahwa monyet paling senang dengan lagu-lagu ciptaan ybs
Monyet Ternyata Mengerti Lagu
Sulung Prasetyo | Jumat, 15 November 2013 - 16:35 WIB: 141
Ilmuwan menemukan fakta monyet-monyet ternyata lebih bereaksi pada bentuk gramatikal.
Kita kadang-kadang mencoba memahami suasana melalui suara. Tiga teman yang bersama-sama mendengar Enya bernyanyi, dua di antaranya mengatakan lagu tersebut menyiratkan kesedihan.
Nada-nada panjang, namun terdengar samar, memang terasa pilu dihati. Padahal bila melihat liriknya, bisa saja lagu tersebut justru menawarkan harapan.
Melalui denting atau kocokan gitar, manusia bisa mengatakan suara tersebut mencerahkan atau justru membuat galau.
Melalui denting atau kocokan gitar, manusia bisa mengatakan suara tersebut mencerahkan atau justru membuat galau.
Ahli biologi kognitif dari Universitas Vienna mengatakan sensitifitas seperti meraba bunyi tidak memerlukan banyak waktu untuk dipelajari, bahkan monyet dari Amerika Selatan saja bisa melakukan itu dengan mudah.
Bahasa dan musik memang sebuah sistem yang terstruktur. Ini merupakan gabungan dari suku kata, lirik, dan irama. Manusia bisa memilah-milah masing-masing karakter tersebut,seperti membedakan antara aksen orang India dan Rumania dalam berbahasa Inggris.
Bahasa dan musik memang sebuah sistem yang terstruktur. Ini merupakan gabungan dari suku kata, lirik, dan irama. Manusia bisa memilah-milah masing-masing karakter tersebut,seperti membedakan antara aksen orang India dan Rumania dalam berbahasa Inggris.
Contoh lainnya saat memahami padanan-padanan kata yang berubah, namun mirip seperti "batavia" menjadi "betawi". Pemilahan tersebut dapat dilihat pula untuk memahami karakter lagu daerah adat yang dinyanyikan saat suasana berkabung atau gembira.
Secara umum kemandirian bunyi antara kata, lirik, dan irama dapat kita temui pada berbagai jenis musik dari seluruh dunia. Pertanyaan biologisnya, adakah kemampuan menciptakan bunyi tersebut berhubungan dengan kognisi manusia dalam menciptakan bahasa atau itu hanya sebuah naluri? Ini sama seperti yang bisa dilakukan satwa, seperti monyet.
Andrea Ravignani, kandidat doktor di Departemen Biologi Kognitif, Universitas Vienna mencoba mencari jawaban pertanyaan tersebut. Dengan alat bernama Dependency Detection, ilmuwan tersebut mencari tahu jawabannya melalui monyet kecil dari Amerika Selatan. Mengapa monyet? Itu karena ia terinspirasi pada kabar mengenai lengkingan monyet yang sepertinya menjadi alat bahasa terstruktur spesies itu.
Para ilmuwan tersebut mendesain sistem musikal berisi suara akustik yang mirip dengan lengkingan monyet yang dipadukan dengan mimik sintatik atau gaya ucapan milik orang Turki dan beberapa daerah lain. Itu karena gaya tersebut mirip lengkingan monyet.
Awalnya monyet-monyet tersebut diperdengarkan lengkingan monyet asli. Kemudian, bunyi tersebut diselang-seling dengan rekayasa musikal dan gaya ucap. Tes tersebut dimaksudkan untuk mengetahui adanya pemicu koneksi antarbunyi.
Hasilnya, menurut Ravignani, seperti memakai piyama saat ke kantor yang semua orang akan melihat dengan heran dan seperti memakai piyama saat pesta mabuk-mabukan yang semua seperti biasa saja. Dengan kata lain masih terlalu lama untuk dapat mengatakan terdapat koneksi antara bunyi, struktur suara, dan musik.
"Dengan paradigma seperti itu, kami para ilmuwan menemukan fakta monyet-monyet ternyata lebih bereaksi pada bentuk gramatikal seperti bunyi irama," kata Ravignani, seperti dikutip melalui Livescience, Kamis (13/11).
Menurutnya, penelitian ini tak semata-mata untuk menyamakan manusia dan monyet. Manusia memiliki kelebihan karena mampu menganalisis keseluruhan, termasuk bunyi, nada, lirik, serta bahasa.
"Namun, musik tampaknya bisa menjadi pemicu untuk mendapatkan perhatian dari kerumunan monyet," Ruth Sonnweber, rekan kerja Ravignani memaparkan.
Ruth menambahkan, mungkin saja nenek moyang mereka memang telah memiliki kemampuan untuk membedakan bunyi, bahkan sejak 30 juta tahun lalu. Kemudian, karena sering berinteraksi dengan manusia yang kadang-kadang menciptakan lagu, banyak monyet juga mulai memahaminya.
Secara umum kemandirian bunyi antara kata, lirik, dan irama dapat kita temui pada berbagai jenis musik dari seluruh dunia. Pertanyaan biologisnya, adakah kemampuan menciptakan bunyi tersebut berhubungan dengan kognisi manusia dalam menciptakan bahasa atau itu hanya sebuah naluri? Ini sama seperti yang bisa dilakukan satwa, seperti monyet.
Andrea Ravignani, kandidat doktor di Departemen Biologi Kognitif, Universitas Vienna mencoba mencari jawaban pertanyaan tersebut. Dengan alat bernama Dependency Detection, ilmuwan tersebut mencari tahu jawabannya melalui monyet kecil dari Amerika Selatan. Mengapa monyet? Itu karena ia terinspirasi pada kabar mengenai lengkingan monyet yang sepertinya menjadi alat bahasa terstruktur spesies itu.
Para ilmuwan tersebut mendesain sistem musikal berisi suara akustik yang mirip dengan lengkingan monyet yang dipadukan dengan mimik sintatik atau gaya ucapan milik orang Turki dan beberapa daerah lain. Itu karena gaya tersebut mirip lengkingan monyet.
Awalnya monyet-monyet tersebut diperdengarkan lengkingan monyet asli. Kemudian, bunyi tersebut diselang-seling dengan rekayasa musikal dan gaya ucap. Tes tersebut dimaksudkan untuk mengetahui adanya pemicu koneksi antarbunyi.
Hasilnya, menurut Ravignani, seperti memakai piyama saat ke kantor yang semua orang akan melihat dengan heran dan seperti memakai piyama saat pesta mabuk-mabukan yang semua seperti biasa saja. Dengan kata lain masih terlalu lama untuk dapat mengatakan terdapat koneksi antara bunyi, struktur suara, dan musik.
"Dengan paradigma seperti itu, kami para ilmuwan menemukan fakta monyet-monyet ternyata lebih bereaksi pada bentuk gramatikal seperti bunyi irama," kata Ravignani, seperti dikutip melalui Livescience, Kamis (13/11).
Menurutnya, penelitian ini tak semata-mata untuk menyamakan manusia dan monyet. Manusia memiliki kelebihan karena mampu menganalisis keseluruhan, termasuk bunyi, nada, lirik, serta bahasa.
"Namun, musik tampaknya bisa menjadi pemicu untuk mendapatkan perhatian dari kerumunan monyet," Ruth Sonnweber, rekan kerja Ravignani memaparkan.
Ruth menambahkan, mungkin saja nenek moyang mereka memang telah memiliki kemampuan untuk membedakan bunyi, bahkan sejak 30 juta tahun lalu. Kemudian, karena sering berinteraksi dengan manusia yang kadang-kadang menciptakan lagu, banyak monyet juga mulai memahaminya.
Bahkan, kalangan satwa tersebut mungkin saja memasukkan nada-nada itu dalam bahasa mereka. Asal jangan sampai, suatu saat tiba-tiba ditemukan monyet yang bisa bernyanyi. Itu membuat makin kacau dunia ini.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
.
__,_._,___
No comments:
Post a Comment