Mediator HI Jangan Peras Perusahaan
[MAKASAR] Semua mediator penyelesaian hubungan industrial (HI) di Indonesia harus bersikap profesional dan independen dalam menjalankan tugas dalam memediasi antara perusahaan dan pekerja. Mediator jangan sampai mempersulit perusahaan dengan iming-iming supaya diberi sesuatu.
"Apalagi sampai meminta uang kepada perusahaan, itu harus haram bagi mediator," tegas Ruslan Irianto Simbolon.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial (Jamsos), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) ini mengatakan hal itu dalam acara "Sosialisasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan Proses Sertifikasi Mediator Hubungan Industrial Ditjen PHI dan Jamsos 2013" di Makasar, Sulawesi Selatan, Selasa (19/11) malam.
Turut hadir dalam acara yang dihadiri oleh 40 orang Mediator PHI se-Sulsel dan puluhan birokrat di se-Provinsi Sulsel itu adalah Sekretaris Ditjen PHI dan Jamsos, Iskandar Maula.
Menurut Irianto, semua mediator hubungan industrial (HI) harus mempunyai tekat dalam hati dan pikiran bahwa tugasnya adalah tercapainya hubungan industrial yang harmonis antara pengusaha dan pekerja atau buruh.
"Semua mediator HI harus prihatin unjukrasa akhir-akhir ini. Unjukrasa itu berarti tidak tercapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Untuk mencapai ini ya tugas mediator HI," kata dia.
Irianto menegaskan, mediator HI adalah salah satu instrumen yang utama dalam hubungan industrial. Menurut Irianto, ada sejumlah permasalahan seputar hubungan industrial saat ini.
Pertama, secara kuantitas jumlah tenaga mediator sangat kurang dimana saat ini hanya 1.200 orang, dan yang aktif cuma 800.000 untuk seluruh Indonesia.
Sementara jumlah perusahaan di Indonesia sebanyak 24.000 perusahaan. Menurut Iskandar Maula, idealnya jumlah mediator untuk seluruh Indonesia sekurang-kurangnya 5.000 orang. "Ya, jangan heran banyak perusahaan di Indonesia tak tersentuh mediator HI ini," kata Iskandar Maula.
Permasalahan kedua adalah dari mediator yang ada saat ini kompetensinya kurang dalam menangani permasalahan hubungan industrial.
Akibatnya, kata Irianto, banyak kasus HI yang ditangani oleh mediator tidak tuntas dan tidak tertangani secara profesional. Ketiga, rendahnya renumerasi mediator yang tidak seimbang terhadap tugas dan fungsi yang diembannya.
Keempat, banyaknya tenaga mediator yang dipindah ke unit lain, dan belum adanya sistem jaminan kualitas SDM hubungan yang memadai.
Kelima, permasalahan seputar pelayanan hubungan industrial kepada masyarakat khususnya masyarakat industri oleh tenaga arbiter, konsiliator dan pegawai teknis yang menangani perselisihan hubungan industrial pada dinas-dinas yang menangani bidang ketenagakerjaan khususnya bidang hubungan industrial masih sangat tidak memuaskan dalam penyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang diberikan.
Menurut Irianto, tantangan ke depan yaitu membangun kepercayaan mitra sosial dan masyarakat terhadap pelayanan mediasi agar kenyamanan bekerja dan berusaha bisa diwujudkan dan dinamika iklim usaha akan berjalan seiring dengan perubahan pasar kerja yang dihadapi oleh Indonesia seperti halnya integrasi pasar ASEAN 2015.
Selain itu, kata Irianto, adalah pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pasar regional lainnya, sebagai paradigma baru pengembangan mediator HI dan para ahli yang menangani hubungan industrial ke depan harus lebih responsif dan lebih tanggap terhadap perusahaan, tidak ada jalan lain kecuali melalui peningkatan kualitas mediator dan tenaga teknis HI yang profesional dan handal.
Menurut Irianto, seacara nasional Indonesia sudah ada peraturan pemerintah yang mengatur Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) antara lain, pertama, Permenakertrans Nomor Tahun 2007 tentang Tata Cara Penetapan SKKNI. Kedua, Keputusan Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Nomor 161 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara penulisan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
Ketiga, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 603 Tahun 2012 tentang Standarisasi Kompotensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Sektor Ketenagakerjaan Sub Sektor Hubungan Industrial menjadi SKKNI. Menurut Irianto, dengan dikeluarkannya Kepmanakertrans Nomor 603 Tahun 2012 tentang SKKNI Hubungan Industrial, bukan berarti pemerintah yang dalam hal ini oleh Dirjen PHI dan Jamsos mengambil alih peran dan fungsi mitra sosial baik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Serikat Pekerja, Serikat Buruh, pengusaha dan institusi masyarakat lainnya dalam hubungan industrial, tetapi ini adalah kebijakan yang diarahkan kepada penataan yang lebih sistematis untuk menghimpun ahli hubungan industrial secara jelas tidak hanya di kalangan pemerintah tetapi di kalangan stakeholder HI.
Iskandar Maula menambahkan, keberadaan SKKNI Ahli Hubungan Industrial (AHI) adalah membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi AHI, yang telah dibentuk dan telah diresmikan oleh Menakertrans, Muhaimin Iskandar di Jakarta, 3 September 2013.
Lembaga Sertifikasi Profesi Pembinaan Hubungan Industrial, kata Iskandar, adalah suatu lembaga yang dibentuk dan berhak mengeluarkan sertifikat kompetensi ahli hubungan industrial setelah melalui uji kompetensi dapat diimplementasikan dengan teratur dan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. [E-8
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment