Jakarta (ANTARA News) - Dari skandal diplomatik penyadapan intelijen Australia kepada petinggi Indonesia, sangat wajar Negara Kanguru itu meminta maaf pada Indonesia karena mereka telah menciderai persahabatan kedua negara.
 
Anggota DPR, Nurhayati Assegaf, di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu, menyatakan, pada saat ini Indonesia hanya menginginkan permohonan maaf resmi dari Australia.
 
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, di Canberra, beberapa waktu lalu, menegaskan tidak akan meminta maaf kepada Jakarta atas temuan dan pengungkapan penyadapan instansi intelijennya di Jakarta.
 
Sungguhpun begitu, dia mengakui hubungan baik dengan Indonesia merupakan prioritas penting Australia di kawasan.
 
Karena menolak meminta maaf sekaligus merasa bahwa penjelasan resmi tidak perlu disampaikan ke Jakarta, maka Presiden Susilo Yudhoyono berreaksi setelah menunggu sekian lama.
 
Yudhoyono memerintahkan penghentian kerja sama dengan Australia pada tiga aspek, yaitu tukar-menukar data dan informasi intelijen dan kepolisian, pertahanan dan militer, serta penanganan pengungsi ilegal.
 
Jika tidak "ditahan" alias "ditangkal" di wilayah hukum Indonesia maka dipastikan arus pengungsi ilegal ataupun legal menuju Australia makin membanjir dan memberi dampak serius di negara benua itu.

Meminta maaf, kata Assegaf, bukanlah hal yang sulit dan tidak akan merendahkan pihak Australia di mata Indonesia dan sebaliknya.

"Penjelasan dan permintaan maaf 'khan hal biasa yang dilakukan dua sahabat, jadi kenapa rasanya kok sulit sekali," ujar dia.

Indonesia dengan Australia memiliki hubungan dekat dan cukup erat dibandingkan dengan negara-negara lain.
 
Saling berkunjung antara kedua pemimpin pemerintahan, menteri, anggota parlemen, pebisnis, tokoh lain, hingga warga biasa, sangat kerap terjadi.

"Oleh sebab itu, wajar bila Indonesia yang selama ini sangat percaya terhadap Australia menjadi sangat marah dan kecewa terhadap tindakan penyadapan ini," kata Assegaf.