Friday, November 22, 2013

[batavia-news] Korban 1965 Tunggu Sikap Presiden

 

res Ini ideologi Partai Demokrat  yang ketuanya adalah SBY http://en.wikipedia.org/wiki/Democratic_Party_%28Indonesia%29
Pancasila, Fiscal conservatism, Progressive conservatism, Anti-communism, Social conservatism and National conservatism. 
 
 
 
Korban 1965 Tunggu Sikap Presiden
 
Tutut Herlina | Jumat, 22 November 2013 - 14:44 WIB
: 234
 

(dok/antara)
Para korban peristiwa 65 bersama anggota Wantimpres Albert Hasibuan (duduk berdasi) memberi keterangan kepada wartawan usai pertemuan kedua pihak di kantor Wantimpres, Jakarta Pusat, Rabu (13/11).
Eksekusi putusan MA sangat tergantung pada kemauan politik pemerintah.

JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) sudah mengabulkan uji materi (judicial review) terhadap Keputusan Presiden (Keppres) No 28 Tahun 1975 yang memulihkan hak pensiun para mantan korban tragedi 1965/1966. Namun, eksekusi putusan MA tersebut akan sangat tergantung pada kemauan politik pemerintah.

Sayangnya, berdasarkan pengalaman selama ini, pemerintah tidak pernah menindaklanjuti putusan MA. Salah satu contohnya, pemerintah hingga kini belum menjalankan putusan MA terkait rehabilitasi korban 1965/1966.

Padahal putusan MA tentang rehabilitasi korban 1965/1966 sudah dikeluarkan sejak 2003. MA berpendapat, rehabilitasi terhadap korban 1965 harus dilakukan karena mereka dihukum tanpa melalui proses hukum.

Salah satu korban 1965, Mujayin menyatakan, sesuai Pasal 14 Ayat 1 (a) UUD, rehabilitasi merupakan hak prerogatif presiden berdasarkan pertimbangan dari MA. "MA sudah memberikan pertimbangan harus direhabilitasi. Itu zamannya Pak Bagir Manan (mantan Ketua MA). Tapi sampai sekarang presiden juga tidak menindaklanjuti putusan MA itu," katanya ketika dihubungi, Jumat (22/11).

Namun, para korban mengaku tidak akan lelah berjuang untuk mendapatkan keadilan. Terkait hak pensiun, mereka akan mendatangi Badan Kepegawaian Negara (BKN). "Dulu kami pernah mendatangi BKN, tapi jawabannya adalah itu harus berdasarkan keputusan politik. Jadi walaupun secara hukum kami menang, tampaknya jalannya masih panjang," katanya.

Dengan putusan MA soal uji materi Keppres No 28 Tahun 1975 ini, diperkirakan ribuan "anggota" Partai Komunis Indonesia (PKI) dan masuk golongan C akan mendapatkan pensiun. Bahkan, jika di antara mereka sudah meninggal, ahli warisnya juga akan berhak menerima pensiun.

Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nurcholis mendesak MA segera memberikan salinan putusan tersebut kepada penggugat, yaitu mantan korban tragedi 1965/1966.

Nurcholis menegaskan, salinan putusan merupakan hak penggugat sehingga berlebihan dan menimbulkan tanda tanya bila MA tak segera memberikannya. Padahal putusan telah dikeluarkan sejak tahun lalu.

"Itu haknya korban, kasihkan saja. Kalau kasusnya sudah ada putusan, (tapi) belum dikasih salinannya, menurut saya MA berlebihan dan bisa mengabaikan warga negara. Setelah putusan kan harus ada eksekusi putusan, MA semestinya membantu mempermudah urusan-urusan administrasi," ujarnya saat dihubungi SH, di Jakarta, Jumat pagi.

Nurcholis memandang belum diterimanya salinan putusan MA atas dikabulkannya gugatan uji materi ini, secara tidak langsung menggambarkan mekanisme penyelesaian oleh pemerintah terhadap pelanggaran HAM masa lalu telah terhenti.

"Saluran hukum berhenti, nonhukum berhenti. semakin meneguhkan keyakinan bahwa memang pelanggaran HAM berat masa lalu tidak tercantum dalam agenda nasional. Kalaupun ada, hanya pembahasan formal, tidak ada niatan tulus untuk menyelesaikan," tuturnya.

Namun, Nucholis meyakinkan ia bersama-sama dengan tim Komnas HAM tetap optimistis untuk menginisiasi suara korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Kami optimistis walaupun akan ditekan negara. Kami akan tawarkan ide-ide rasional, misalnya tim saat ini sedang menyusun konsep penyelesaian, salah satunya adalah membuat laporan utuh efektif hasil penyelidikan dan solusi-solusi apa yang dimungkinkan, baik yudisial dan non-yudisial," kata Nurcholis.

"Yudisial kita tetap mengacu proses hukum. Secara bersamaan, non-yudisial, misalnya melakukan dialog nasional. Kemarin tim bertemu dengan ketua MPR untuk membahas ini. Kami mengagas ada kemungkinan penyesalan dari negara dengan meminta maaf. Menyatakan bahwa dulu peristiwa itu ada dan menyatakan penyesalan," ujarnya.

Birokrasi Lambat

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti menilai belum diterimanya salinan putusan uji materi yang diajukan mantan korban peristiwa 1965/1966 membuktikan lambatnya dan tidak terkoordinasinya birokrasi di Indonesia. Kasus politis dan sensitif, termasuk mengenai korban 1965/1966, menurutnya, kerap dilambatkan karena adanya pihak-pihak yang merasa tidak puas.

"Urusan birokrasi administrasi di Indonesia memang sangat lambat dan tidak terkoordinasi baik. Ditambah lagi kebiasaan minta duit dari aparat pemerintah masih selalu terjadi. Apalagi menyangkut kasus yang sangat politis dan sensitif, bisa jadi akan semakin dilambatkan karena ada pihak-pihak yang tidak puas," tutur Poengky.

Sebagai tindak lanjut putusan tersebut, Poengky menyarankan para korban yang sudah dimenangkan hak-haknya untuk menghubungi Kepala Panitera di MA guna mendapatkan salinan putusan. Ia memandang hal ini sangat penting agar eksekusi putusan uji materi ini dapat segera diproses dan mencegah hal-hal buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari.

"Kasihan sekali, sudah lama mereka dicabut hak-hak keperdataannya dan keluarganya juga mengalami penderitaan yang berat," Poengky menjelaskan, seraya berharap MA, demi kemanusiaan dan hukum, dapat mempercepat pemberian salinan putusan ini.

Seperti diberitakan, melalui situsnya terungkap bahwa MA menjatuhkan putusan mengabulkan uji materi terhadap Keppres No 28 Tahun 1975 pada 8 Agustus 2012. Keppres itu telah menghalangi pemberian hak pensiun bagi orang-orang yang diduga terkait PKI dan masuk golongan C.

Majelis hakim agung tingkat kasasi yang menangani perkara itu adalah Supandi, Achmad Sukardja, dan Paulus E Lotulung, sedangkan panitera penggantinya adalah Khairuddin Nasution. Status perkara yang tertera "putus", sedangkan amar putusannya berbunyi "kabul". Namun, lebih dari setahun sejak putusan itu dibacakan, salinan putusan belum diterima para pemohon uji materi.

Para pemohon itu antara lain Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, Ketua Badan Pengurus Elsam Sandra Yati Moniaga, mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Erna Ratnaningsih, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 Bedjo Untung, Ketua Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KORB) Sumaun Utomo, aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana, dan Zumrotin K Soesilo. Uji materi ini diajukan ke MA pada 5 Agustus 2011.

Haris mengakui, sebagai pemohon hingga kini ia belum menerima salinan putusan. Ia telah berusaha meminta salinan itu ke MA, tetapi MA menolak memberikan salinan putusan dengan berbagai argumen. (M Bachtiar Nur)

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
http://groups.yahoo.com/group/batavia-news
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup 
--------------
.

__,_._,___

No comments:

Post a Comment