(dok/ist)
Francisca Fanggidaej
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia hanya mencatat segelintir tokoh perempuan. Dari jumlah yang sedikit itu, sesungguhnya ada sosok Francisca Fanggidaej. Namanya tidak pernah direkam dalam teks sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun, namanya ditulis dalam buku peringatan Konferensi Kalkuta tahun 1948 sebagai tokoh perempuan Indonesia yang berpidato untuk memberitahukan dunia internasional tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan Francisca harus dibayar mahal. Kiprahnya sebagai aktivis pemuda yang berhaluan kiri, membuat Francisca yang saat itu tengah bertugas ke luar negeri tak bisa pulang karena tragedi 1965 meletus. Ia harus meninggalkan suami keduanya, Supriyo dan ketujuh anaknya yang masih kecil, dan menetap di Belanda hingga akhir hayatnya.
Rabu (13/11), Francisca mengembuskan napas terakhirnya di sebuah panti jompo di Utrecht, Belanda, pukul 14.20 waktu setempat.
Ia meninggal di usianya yang ke-88. Perempuan yang lahir di Timor, 16 Agustus 1925 itu memang sudah lama sakit akibat dimakan usia. Ia sempat terjatuh hingga pinggulnya remuk dan menjalani operasi sebanyak dua kali yang membuat kondisinya semakin menurun.
Sejarah kehidupan Francisca bisa dikatakan unik. Seperti terungkap dalam buku Memoar Perempuan Revolusioner yang ditulis sahabatnya sesama eksil Hesri Setiawan, Francisca yang merupakan anak pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej yang bekerja sebagai Kepala Pengawas Djawatan Pekerjaan Umum, dibesarkan dalam budaya Belanda. Ini karena jabatan ayahnya yang tinggi sehingga dijuluki "Belanda hitam" yang dipersamakan dengan orang Belanda.
Pertemuannya dengan Dr Gerrit Siwabessy, suami salah seorang sepupu jauh dari garis ibu, ketika masa pendudukan Jepang, mengubah hidupnya. Siwabessy bersama Sam Malessy menghimpun para pemuda Maluku dan menanamkan semangat nasionalisme.
Francisca belajar politik dan bahasa Indonesia dari mereka. Kecintaannya terhadap Indonesia pun tumbuh subur. Ia terus aktif di tengah kelompok Siwabessy, hingga pada November 1945, ia pergi ke Yogyakarta untuk mengikuti Kongres Pemuda yang pertama dan bergabung dengan Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Dari situ, Francisca semakin giat berpolitik. Ia aktif di Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Bagian Penerangan Dewan Pimpinan Pusat dan membangun Bagian Keputrian Pesindo.
Ia juga aktif di Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) dan siaran di Radio Gelora Pemoeda Indonesia untuk menginformasikan situasi RI kepada pendengar di luar negeri. Aktif di organisasi, mengantarkannya bertemu dengan Sukarno alias Karno, pemimpin bagian penerangan Pesindo dan BKPRI, yang dinikahinya pada 30 Juni 1948.
Sejak 1947, Francisca kerap diutus untuk melakukan Safari Revolusi Pemuda ke berbagai negeri di Eropa dan menghadiri Konferensi Pemuda Asia Tenggara atau Konferensi Kalkuta di India. Di sana ia bertugas membuka mata dunia tentang Revolusi Pemuda Indonesia dan mencari dukungan dunia untuk berseru, "Stop the war!"
Francisca berada di India selama tiga bulan, dari Desember 1947-Maret 1948, ketika Perjanjian Renville mencapai kesepakatan. Dalam satu kesempatan berpidato di rapat umum di Kalkuta, Francisca yang diminta menjadi utusan dan pembicara satu-satunya dari Pemuda Indonesia menyerukan, "Perjanjian Renville merupakan kemunduran bagi perjuangan bangsa-bangsa untuk meraih kemerdekaan, namun pemuda Indonesia menolaknya dan akan melawan!"
Sebagai aktivis, Francisca juga mengalami saat-saat sulit. Ini terjadi empat hari sebelum Peristiwa Madiun, tepatnya 14 November 1948, suaminya, Karno, diculik dan akhirnya tewas ditembak mati. Ia sendiri ditangkap pada 18 November 1948 dan dipenjara dalam keadaan hamil.
Ia dituduh mendapat tugas membawa blue print Peristiwa Madiun dari Kongres Partai-partai Komunis Sedunia di Kalkuta. Padahal, Francisca tidak tahu sama sekali bahwa ketika itu Partai Komunis India sedang melangsungkan kongres. Ia baru bebas pada 19 Desember 1948 ketika terjadi agresi II setelah Belanda melanggar Perjanjian Renville.
Karier politik Francisca perlahan-lahan mulai menanjak. Tahun 1951 ia menjadi ketua Pemuda Rakyat, yang sebelumnya dikenal sebagai organisasi pemuda sosialis Pesindo. Hingga akhirnya Francisca yang pernah menjadi wartawan Antara ini diangkat menjadi anggota DPR-GR sekaligus merangkap anggota MPRS. Di DPR-GR, ia duduk di Komisi Luar Negeri.
Kehidupannya berubah drastis tak lama sebelum terjadi Tragedi 1965, ketika ia harus bertugas ke Aljazair dan Cile. Tak dinyana, ia tak bisa pulang ke tanah airnya dan membuatnya merasa bersalah terhadap anak-anaknya.
Meski lama menjadi eksil, kecintaan Francisca terhadap Indonesia tak pernah luntur. Ia selalu mengikuti perkembangan politik di Tanah Air. Ibrahim Isa, sesama eksil yang bermukim di Belanda, dalam kolomnya mengungkapkan bahwa ia bersama Francisca, Sucipto A Munandar, TM Siregar, dan Supangat mendirikan yayasan Stichting Azië Studies, Informartie en Dokumentatie, di Amsterdam, sebagai wadah perjuangan di luar negeri melawan rezim Orde Baru Soeharto.
Menurutnya, satu hal yang menjadi ciri watak revolusioner dan konsisten Francisca ialah menghadapi pukulan yang betapa pun besarnya dari pihak kaum reaksioner dan penguasa, seperti ketika ia dijebloskan dalam penjara atas tuduhan terlibat dalam "Peristiwa Madiun", maupun ketika paspornya dicabut oleh rezim Orde Baru, sehingga menjadikannya "orang yang tidak bisa pulang", Francisca tetap teguh dalam pendirian politiknya maupun dalam kegiatan aktual dalam aksi-aksi maupun kegiatan lainnya demi cita-cita mulia yang dianutnya. Francisca bersemangat optimisme revolusioner dan pantang mundur.
Terhadap sahabat ataupun kenalan biasa, menurut Ibrahim, bahkan yang berbeda besar dalam politik, Francisca selalu bersikap ramah, terbuka, dan terus terang. Perbedaan pendapat tidak menyebabkannya bermusuhan dengan siapa saja. Sebagai teman seperjuangan, Francisca selalu memberi semangat terhadap sesama kawan untuk meneruskan perjuangan, selalu ramah, dan optimistis.
Pulang
Berpuluh-puluh tahun berpisah dari keluarganya, akhirnya Francisca bisa berkumpul kembali bersama keluarganya ketika era Reformasi. Setelah 1998, ia pulang ke Indonesia. "Saya baru tahu kalau saya ternyata masih memiliki oma. Selama ini ibu saya tidak pernah bercerita," ujar Reza Rahadian, cucu Francisca, yang kini menjadi aktor saat tampil di acara Hitam Putih di Trans 7, 28 Oktober lalu.
Pemeran BJ Habibie ini mengungkapkan, selama Orde Baru, keluarganya tidak bisa berhubungan dengan sang oma, bahkan berkirim surat sekalipun, karena begitu represifnya penguasa waktu itu. Kini, ia menjadi salah satu cucu kesayangan dan sempat mengirim ibunya untuk mengunjungi omanya di Belanda. Salah satu pesan Francisca yang paling diingat Reza adalah agar berbuat yang terbaik untuk Indonesia.
Francisca memang tak pernah melupakan tanah airnya. Pekerja hak-hak perempuan dan mantan komisioner Komnas Perempuan, Ita F Nadia yang mengenalnya sejak 1997, mengatakan bahwa Francisca selalu setia mengikuti perkembangan Indonesia dan sangat peduli pada isu perempuan. Francisca selalu mengatakan, meski sudah merdeka, perjuangan Indonesia belum selesai.
"Dia terus mengatakan Indonesia ini masih dalam proses pembebasan nasional. Sejak zaman kemerdekaan Indonesia belum merdeka betul. Rakyat masih tertindas," kata Ita yang terakhir kali bertemu Francisca di Belanda, April lalu.
Sejak 2004, sudah beberapa kali Francisca menyatakan keinginannya untuk menetap di Indonesia, namun keinginan ini urung terlaksana karena sejumlah teman di Belanda tidak menyetujuinya. Terakhir kali bertemu Ita, entah sudah memiliki firasat, ia sempat mengutarakan keinginannya jika ia mati nanti, ia ingin jiwanya ada di Indonesia.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
to Subscribe via email :
batavia-news-subscribe@yahoogroups.com
----------------------------------------
VISIT Batavia News Blog
http://batavia-news-networks.blogspot.com/
----------------------------
You could be Earning Instant Cash Deposits
in the Next 30 Minutes
No harm to try - Please Click
http://tinyurl.com/bimagroup
--------------
No comments:
Post a Comment